Labels

Thursday, March 24, 2011

Polri dan Premanisme beserta solusinya


BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Negara Republik Indonesia adalah sebuah Negara yang berlandaskan hukum, hal ini berarti bahwa Hukum di Indonesia di junjung Tinggi, sesuai dengan pasal 27 UUD 1945 yang sudah di amandemen; “Bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung  hukum dan Pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Sebagai Basic Law (hukum dasar) UUD 1945 telah mengatur kedudukan warga Negara dan pemerintahan itu sendiri.
Sesuai dengan amanat undang-undang Dasar 1945 maka dibentuklah aparat Negara penegak hukum yaitu Polri yang didasarkan UU no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dalam pasal 13 berbunyi; “dalam mengemban Tugasnya Kepolisian mempunyai Tugas Pokok :
a.       Memelihara Keamanan dan ketertiban masyarakat,
b.  Menegakan hukum,
c.  Melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat.
Sebagai aparat penegak hukum Polri mengemban tanggung jawab yang sangat besar, mengingat tantangan perkembangan zaman maupun pengaruh globalisasi saat ini, setidaknya secara garis besar Polri dihadapkan pada 3 jenis dimensi kejahatan; yaitu Kejahatan Transnasional, Kejahatan Konvensional dan Kejahatan Kerah putih atau White Colar Crime, Kejahatan Transnasional atau lintas batas meliputi; Cyber crime, Terorisme, Human Trafficking, Illegal maining, Illegal fishing, Narkoba, dsb. Kejahatan Konvensional seperti Premanisme, Pembunuhan, Pencurian, Perampokan , Penipuan dsb. Sedangkan untuk dimensi kejahatan White colar crime terdapat modus-modus kejahatan, seperti Korupsi, money laundering, kejahatan perbankan, kejahatan ekonomi dan fiscal, hingga kejahatan pasar modal. Dari berbagai macam kejahatan tersebut sudah secara jelas diatur baik pasal Pidana maupun ancaman hukumannya dalam peraturan Perundangan yang berlaku, kecuali Kejahatan Premanisme.

Definisi Premanisme sendiri tidak dapat di temukan secara baku pada perundang-undangan yang ada, melainkan premanisme sering  dianalogikan sebagai individu atau sekelompok orang yang melakukan tindakan-tindakan yang merugikan dan mengganggu kepentingan umum, seperti pemerasan, pengancaman, penganiayaan, tawuran, membuat orang lain merasa takut, mabuk dimuka umum dsb, hal ini seringkali kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, pada jalan-jalan tertentu yang cukup sepi terkadang terjadi pemerasan secara paksa dengan menggunakan ancaman maupun kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang tertentu pada umumnya berwajah seram dan memiliki tattoo pada bagian tubuhnya atau yang seringkali disebut dengan istilah pemalakan, kemudian pada tempat-tempat parkir kendaraan bermotor yang tidak resmi, yang terkadang memaksa orang untuk membayar lebih dari ketentuan ongkos parkir yang berlaku, belum lagi pada pedagang-pedagang di pasar atau warung-warung tradisional dan toko yang harus membayar uang “keamanan” yang sebenarnya terdengar janggal karena sebenarnya mereka membayar uang keamanan agar merasa aman dari orang-orang yang meminta uang tersebut, selain preman-preman dijalan ada juga preman-preman yang dikelola sebagai jasa keamanan di tempat-tempat hiburan, diskotik, kafe-kafe maupun tempat-tempat prostitusi, yang seringkali memicu terjadinya perkelahian antar kelompok maupun golongan preman yang berasal dari satu suku tertentu dengan suku yang lain dan dapat memicu terjadinya konflik SARA, seperti yang baru saja terjadi di diskotik Blowfish Jakarta Selatan yang akhirmya berkembang menjadi perkelahian terbuka di depan PN. Jakarta Selatan dan memakan korban jiwa serta kerugian material yang tidak sedikit, ada juga preman-preman yang dipekerjakan secara resmi pada lembaga-lembaga financial seperti Leasing maupun perusahaan penyedia layanan Kartu kredit, dimana pada pelaksanaan tugasnya seringkali menggunakan cara-cara yang tidak dibenarkan dan cenderung menimbulkan rasa takut atau tidak nyaman, namun saat ini mungkin yang paling banyak menyita perhatian masyarakat adalah tindakan-tindakan premanisme yang dilakukan oleh oknum ormas tertentu yang terkadang mengatasnamakan agama atau golongan, akibat yang ditimbulkanpun terlihat lebih masiv, karena biasanya oknum tersebut jumlahnya cukup banyak dan tindakan yang dilakukan cenderung emosional, sehingga mereka tidak takut terhadap aparat Kepolisian maupun dengan masyarakat lain yang merasa dirugikan, lalu apakah yang menyebabkan fenomena premanisme ini menjadi semakin berkembang dan beragam modus serta bentuknya, bagaimanakah Negara dalam hal ini Kepolisian Negara Republik Indonesia mensikapi ini, adakah regulasi yang mampu melindungi hak-hak masyarakat dari tindakan-tindakan premanisme yang sudah sangat meresahkan,  dengan demikian apa bedanya premanisme dengan kejahatan Konvensional yang lain.
           
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah peran serta Polri dalam menangani Premanisme ?
2.      Mengapa premanisme dipandang sebagai masalah public?
3.      Bagaimanakah solusi terbaik secara analitis dalam penanganan terhadap premanisme ?

BAB II PEMBAHASAN
           
1.      Peran Serta Polri dalam menangani Premanisme di masyarakat
Asal kata preman berasal dari bahasa Inggris “freeman” yang artinya manusia bebas. Di beberapa kamus bahasa Indonesia akan kita temukan paling tidak 3 arti kata preman, yaitu: 1. swasta, partikelir, non pemerintah, bukan tentara, sipil. 2. sebutan orang jahat (yang suka memeras dan melakukan kejahatan) 3. kuli yang bekerja menggarap sawah. Namun khusus kata premanisme, dipakai untuk arti kata yang kedua, yaitu sifat-sifat seperti orang yang suka memeras dan melakukan kejahatan.
Di Indonesia, upaya untuk memberantas dan memerangi premanisme sebetulnya bukan hal yang terlalu baru. Selama ini, sudah berkali-kali polisi menggelar berbagai operasi pemberantasan preman, namun hasilnya seringkali tidak efektif. Saat operasi diadakan, memang premanisme seolah-olah tiarap. Tetapi, setelah stamina aparat mulai berkurang, biasanya, pelan-pelan aksi premanisme kembali muncul, bahkan dengan skala yang makin mencemaskan. Ada kesan kuat, ketika ulah preman itu makin ditekan, ternyata dalam perkembangannya, ulah mereka justru makin resistan dan taktis menyiasati tekanan. Sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang terkategori marginal, para preman yang banyak beroperasi di berbagai kota besar di Indonesia tidak lagi sekadar melakukan aksi kejahatan kelas teri seperti memaksa pemilik kendaraan bermotor membayar tiket parkir dua kali lipat dari tarif atau memalak para pemilik toko untuk menyediakan uang keamanan. Tetapi, lebih dari itu, yang mereka lakukan kini tak jarang adalah mengembangkan aksi dalam pola yang lebih terorganisasi -ikut dalam kegiatan dan kepentingan politik praktis- sehingga posisi tawar (bargaining position) mereka menjadi lebih kuat. Bahkan, terkadang mereka juga cukup dekat dengan pusat-pusat kekuasaan tertentu. Habitat yang menjadi area subur bagi perkembangan aksi premanisme kini tidak lagi hanya di dunia prostitusi, perjudian, dan dunia kriminal lain. Sebagian yang lain bahkan diduga telah berhasil menanamkan uang hasil palakannya di berbagai usaha yang sifatnya legal.
Di dunia premanisme, justru dengan kedigdayaan, kekenyalan, dan daya tahan, mereka tetap survive dan mampu menyiasati tekanan sekeras apa pun dari polisi karena di antara mereka berkembang apa yang disebut Hans-Dieter Evers (2002) sebagai kohesi sosial dan proses pembelajaran. Seorang preman yang berhasil ditangkap aparat dan kemudian dijebloskan ke penjara karena terbukti melanggar hukum niscaya tidak kapok dan setelah bebas akan meninggalkan dunia premanisme. Dalam kenyataan, yang sering terjadi adalah penjara justru menjadi sekolah baru yang makin mematangkan semangat mereka untuk lebih masuk dalam pusaran dunia premanisme, mengembangkan jaringan yang lebih kuat, dan akhirnya membangun kerajaan baru di dunia kriminal yang lebih solid.
Dilihat dari tempat dan kejadian, bentuk premanisme terbagi atas; Premanisme Terbuka; Bentuk premanisme ini berupa pemerasan langsung dengan meminta sejumlah uang atau materi dengan ancaman, atau melakukan pengrusakan serta penganiayaan terhadap orang maupun kelompok lain. Biasanya pelakunya orang orang yang nekad dan agak ekstrim. Premanisme Terselubung; Bentuk premanisme ini tidak terlihat langsung, proses dan reaksinya hanya dirasakan oleh korban yang dituntut untuk mengeluarkan biaya diluar aturan. Bentuk premanisme ini biasanya di lingkungan birokrasi yang tumbuh akibat kebutuhan seseorang yang dimanfaatkan oleh oknum dari dalam atau dari luar yang tidak bertanggung jawab. Yang lebih fatal lagi aturan main ini kadang dijadikan sebuah budaya. Bentuk premanisme ini yang kini sangat membudaya disekitar kita dengan mengatasnamakan kemudahan dan kepuasan pelayanan. Yang secara tidak sadar kita telah terkondisikan akan situasi tersebut. Secara tidak sadar pula hal itu telah memupuk pertumbuhan prilaku premanisme terselubung yang bisa saja dituruti oleh prilaku tersebut akan diulangi oleh penerusnya. Bahkan kemungkinan besar akan ditiru oleh pihak lain dari kegiatan yang sejenis.
Mencermati kondisi yang demikian hal ini sudah merupakan kewajiban Polri dalam mengatasi setiap bentuk-bentuk premanisme, namun hal tersebut bukanlah hal yang mudah, banyak hambatan-hambatan yang di jumpai oleh Polri di lapangan pada pelaksanaan tugasnya, karena bentuk-bentuk premanisme terbuka seperti yang disebutkan hanya menyentuh pada pelaku dilapangan atau biasa disebut preman jalanan, dan tidak dapat menyentuh pada akar maupun actor intelektual di belakang praktek-praktek premanisme jalanan ini, bukan rahasia lagi bahwa para preman-preman ini sebagian besar dikelola, bahkan di manaje secara sistematis. Utamanya dalam hal menertibkan tindakan-tindakan premanisme yang dilakukan oleh organisasi massa tertentu dari kelompok golongan tertentu, bahkan pada saat sebelum dimulainya tindakan-tindakan premanisme ini mereka melakukan konsolidasi, dan persiapan matang sebelum sampai pada sasaran, dan dengan memanfaatkan psikologi massa sehingga menjadi semakin sulit untuk ditertibkan kecuali dengan cara-cara represif yang sudah pasti akan menimbulkan korban jiwa. Kemudian dalam hal penertiban premanisme terselubung, yang lekat dengan tindakan-tindakan yang koruptif, meskipun sudah ada regulasi yang jelas dengan disahkannya Undang-undang anti Korupsi, namun hal tersebut sangat sulit diberantas, karena sudah merupakan budaya birokrasi, kecuali dalam hal ini Polri layaknya KPK menjadi sebuah lembaga superbodi yang bisa masuk dalam setiap lini birokrasi, maupun perbankan tanpa melalui prosedur birokrasi yang rumit.
Dengan demikian peran serta Polri didalam menangani Premanisme ini hendaknya tidak dapat dilihat hanya sebagai penegakan hukum saja namun bagaimanakah penanganan yang secara lebih komprehensif dapat dilakukan, agar mencapai hasil yang diharapkan oleh masyarakat, karena Tugas Polri selain sebagai Penegak Hukum juga sebagai Pelindung, Pengayom, Pelayanan masyarakat. Mencoba menempatkan premanisme ini sebagai salah satu permasalahan yang harus dicari solusi maupun jalan keluarnya mungkin lebih baik dibandingkan hanya mengganggapnya sebagai musuh, dan ini tidak lepas dari kerjasama serta kordinasi antar instansi terkait sebagai Stake Holder guna memberikan rasa aman, nyaman, serta tertib di masyarakat.
2.       Premanisme sebagai masalah public
Meningkatnya fenomena premanisme ini bukan hanya dilihat dari apa yang tampak saja, melainkan seperti apa yang telah dipaparkan diatas dalam Premanisme Terselubung, dimana hal tersebut sudah merupakan rahasia umum, bahwa pelbagai instansi di Indonesia dari tingkat pusat dan daerah menjadi sarang "premanisme", pusat "ngobyek", dan bebas mengatur jam kerja. Kerja santai dan pulang cepat serta mempersulit urusan adalah gambaran singkat kinerja pegawai negeri. Sekitar pukul 13.00 dan pukul 14.00 kantor pemerintah sudah banyak yang kosong. Menurut para pelaku usaha, dunia preman dan birokrasi di Indonesia hanya memiliki perbedaan tipis, yakni sebatas seragam dinas. Peras-memeras untuk mengurus pelbagai izin dari tingkat kelurahan hingga pusat telah membuat ekonomi Indonesia terus melambat, bukannya menjadi fasilitator, oknum pemerintah justru menghambat kinerja perekonomian nasional.
Hal inilah yang menimbulkan keprihatinan masyarakat, dan juga menjadi salah satu penyebab makin suburnya premanisme yang terjadi di tengan-tengah masyarakat, karena pada akhirnya para pelaku premanisme tersebut menganggap bahwa apa yang dilakukannya adalah hal yang wajar dan benar menurut dirinya, sehingga pola yang terjadi pada masyarakat dimana Premanisme yang awalnya adalah kaum yang marjinal menjadi berkebalikan dengan masyarakat, bahwa anggota masyarakat yang tidak melakukan perbuatan-perbuatan premanisme akan makin terpinggirkan. Sebenarnya fenomena ini sudah mulai tampak dalam kehidupan sehari-hari; dimana masyarakat saat ini cenderung lebih arogan dan tidak taat aturan, sifat pemberontakan diri inilah sebagai cikal bakal tindakan-tindakan premanisme, yang artinya tidak mau diatur, sebagai contoh; dalam berkendara saat ini orang sudah tidak mau menghormati sesama pengguna jalan, kebut-kebutan, dan ugal-ugalan, tidak mau menggunakan helm, melalui jalan yang bukan peruntukannya, melanggar lampu lalu lintas, tidak mau memberikan kesempatan bagi pejalan kaki yang akan menyeberang di tempat penyeberangan, membuang sampah di jalan dsb, dalam lingkungan social orang sudah tidak lagi mau mengenal tetangga terdekatnya karena menilai semua masalah dapat diselesaikan dengan cara-cara kekerasan maupun dengan memanfaatkan uang dan kekuasaaan, Masalah-masalah ini akan menjadi semakin kompleks bila tidak dicarikan solusinya, dan dalam skala yang lebih besar dapat melumpuhkan ekonomi maupun sumber daya suatu Negara, bahkan berimbas pada kehancuran Negara.
Lalu siapakah yang akan disalahkan, bila kondisi sudah semakin tidak dapat dikendalikan, jawabannya ada pada diri kita masing-masing, tergantung konteks dimana kita bekerja dan bersosialisasi, budaya hanyalah satu aturan yang bila kita tahu sebenarnya kita pun dapat merubahnya, tergantung mau atau tidak, bila dalam lingkungan kerja kita mampu bekerja professional, dan taat aturan maka bukan hal yang mustahil masalah public ini dapat teratasi. Perlu adanya regulasi yang jelas dan tegas juga merupakan salah satu pendorong terciptanya keharmonisan dan keteraturan, ini berarti Polri harus berpikir secara komprehensif atau menyeluruh, bagaimana masalah-masalah public tidak berkembang menjadi masalah Negara, aturan, mekanisme, pemberian reward and punishment yang sesuai, serta ketegasan dalam menegakan aturan menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan.
3.      Penanganan Premanisme dan solusinya secara analitis
Seseorang melakukan tindakan-tindakan premanisme selain dari factor pribadi juga karena adanya factor social, factor social inilah yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan pelanggaran hukum maupun terhadap aturan yang ada, factor social merupakan norma-norma maupun hukum yang berlaku dimasyarakat, namun seringkali norma-norma tersebut diabaikan atau dilanggar, sehingga penyimpangan yang terjadi dalam norma-norma dan hukum di masyarakat ini disebut Penyimpangan Sosial. Menurut James Vander Zanden, 1979; Perilaku menyimpang atau Deviance Behaviour adalah Perilkau yang dipandang sejumlah orang sebagai perbuatan tercela dan diluar batas toleransi, Secara sosiologis, perilaku menyimpang dapat diartikan sebagai setiap perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma dan hukum yang ada di dalam masyarakat. Perilaku seperti ini terjadi karena seseorang mengabaikan norma atau tidak mematuhi patokan baku dalam masyarakat sehingga sering dikaitkan dengan istilah-istilah negatif. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, ‘menyimpang’ bermakna tidak menurut jalan yang betul, menyalahi kebiasaan, aturan, hukum, dan sebagainya serta menyeleweng atau sesat. Menurut Lemert (1951); Penyimpangan dibagi menjadi dua bentuk;
1)      Penyimpangan Primer (Primary Deviation) yaitu Penyimpangan yang dilakukan seseorang akan tetapi si pelaku masih dapat diterima masyarakat. Ciri penyimpangan ini bersifat temporer atau sementara,tidak dilakukan secara berulang-ulang dan masih dapat ditolerir oleh masyarat seperti: menunggak iuran listrik, telepon, BTN, melanggar rambu-rambu lalu lintas, ngebut di jalanan dsb.
2)      Penyimpangan Sekunder (secondary deviation) yaitu Penyimpangan yang berupa perbuatan yang dilakukan seseorang yang secara umum dikenal sebagai perilaku menyimpang. Pelaku didominasi oleh tindakan menyimpang tersebut, karena merupakan tindakan pengulangan dari penyimpangan sebelumnya. Penyimpangan ini tidak bisa ditolerir oleh masyarakat, seperti : preman, pemabuk, pengguna obat-obatan terlarang, pemerkosa, pelacuran, pembunuh, perampok, penjudi.

Adapun factor-factor yang menyebabkan perilaku menyimpang menurut Casare Lombroso adalah;
1)   Biologis
Misalnya orang yang lahir sebagai pencopet atau pembangkang. Ia    membuat penjelasan mengenai “si penjahat yang sejak lahir”. Berdasarkan ciri-ciri tertentu orang bisa diidentifikasi menjadi penjahat atau tidak. Ciri-ciri fisik tersebut antara lain: bentuk muka, kedua alis yang menyambung menjadi satu dan sebagainya.
 2).  Psikologis
Menjelaskan sebab terjadinya penyimpangan ada kaitannya dengan kepribadian retak atau kepribadian yang memiliki kecenderungan untuk melakukan penyimpangan. Dapat juga karena pengalaman traumatis yang dialami seseorang.
 3).  Sosiologis
Menjelaskan sebab terjadinya perilaku menyimpang ada kaitannya dengan sosialisasi yang kurang tepat. Individu tidak dapat menyerap norma-norma kultural budayanya atau individu yang menyimpang harus belajar bagaimana melakukan penyimpangan.

Ada dua Faktor Penyebab timbunya Penyimpangan yaitu factor dari dalam (Intrinsik) dan factor dari luar (Ekstrinsik);
       1)   Faktor dari dalam (intrinsik)
Setiap orang mempunyai intelegensi yang berbeda-beda. Perbedaan intelegensi ini berpengaruh dalam daya serap terhadap norma-norma dan nilai-nilai sosial. Orang yang mempunyai intelegensi tinggi umumnya tidak kesulitan dalam bergaul, belajar, dan berinteraksi di masyarakat. Sebaliknya orang yang intelegensinya di bawah normal akan mengalami berbagai kesulitan dalam belajar  maupun menyesuaikan diri di masyarakat. Namun hal ini seringkali menjadi dilematis, seseorang yang memiliki tingkat intelegensi yang tinggi dapat melakukan suatu kejahatan yang lebih besar akibatnya bagi masyarakat, karena tingginya tingkat intelegensi tidak diimbangi dengan moral yang baik pula, sehingga menimbulkan penyimpangan.
2)   Faktor dari luar (ekstrinsik)
a). Peran keluarga
Keluarga sebagai unit terkecil dalam kehidupan sosial sangat besar peranannya dalam membentuk pertahanan seseorang terhadap serangan penyakit sosial sejak dini. Dalam sebuah keluarga yang selalu menerapkan kejujuran dan kedisiplinan menjadi panutan bagi seseorang dalam berperilaku dalam lingkungannya maupun tempatnya bekerja.
b) Peran masyarakat
Pola kehidupan masyarakat tertentu kadang tanpa disadari oleh para warganya ternyata menyimpang dari nilai dan norma sosial yang berlaku di masyarakat umum. Itulah yang disebut sebagai subkebudayaan menyimpang. Misalnya masyarakat yang sebagian besar warganya hidup dengan menggunakan caa-cara premanisme, maka anak-anak di dalamnya akan menganggap premanisme sebagai bagian dari kehidupannya. Demikian pula seseorang yang tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakat penjudi atau peminum minuman keras, maka akan membentuk sikap dan pola perilaku menyimpang.
c) Pergaulan
Pola tingkah laku seseorang sering kali dipengaruhi oleh pergaulan, Apabila teman bergaulnya baik, dia akan menerima konsep-konsep norma yang bersifat positif. Akan tetapi jika teman bergaulnya kurang baik, sering kali akan mengikuti konsep-konsep yang bersifat negatif. Misalnya di suatu instansi sebagian besar pegawainya sudah terbiasa memeras, tidak tepat waktu dan menerima uang suap sebagai uang pelicin untuk mengurus surat atau akte tertentu, maka orang yang bekerja ditempat itu akan merasa bahwa memeras dan menerima suap adalah suatu kewajaran, demikian pula halnya dengan lingkungan preman, mereka berpikir bahwa perbuatannya menunjukan eksistensi dirinya, mengambil paksa milik orang lain, mempunyai wilayah kekuasaan yang diakui, dsb.
d)  Media massa
Berbagai tayangan di televisi tentang gaya hidup bermewah-mewahan berfoya-foya, menggunakan narkoba, seks bebas, dsb, dapat mempengaruhi perkembangan perilaku individu.
Dengan demikian dalam penanganan terhadap premanisme juga membutuhkan peran serta dari stake holder yang terlibat dalam hal ini Pemerintah sebagai penentu kebijakan khususnya dalam mengeliminir hal-hal yang menjadi embrio serta pendorong kelahiran aksi premanisme seperti; Kemiskinan, kelangkaan kesempatan kerja, marginalisasi, dan kekuasaan yang cenderung korup adalah habitat yang subur bagi perkembangan premanisme di tanah air. Karena itu, agar dari waktu ke waktu tidak lahir preman-preman baru yang makin canggih, pemerintah wajib mengimbangi langkah polisi dengan aksi dan pendekatan sosial agar hal-hal yang menyuburkan tumbuhnya preman tidak terus berkembang. Ketika orang frustrasi karena tak mampu menghidupi keluarganya serta ketika pemerintah tidak lagi mampu menciptakan lapangan kerja yang memadai dan layak untuk tempat bergantung hidup kaum migran yang mengadu nasib mencari pekerjaan di kota, jangan kaget jika di saat yang bersaman lahir sejumlah aktivitas di sektor informal yang terkategori ilegal. Selain itu perilaku premanisme dan kejahatan jalanan merupakan problematika sosial yang berawal dari sikap mental masyarakat yang kurang siap menerima pekerjaan yang dianggap kurang bergengsi. dan penanganannya tidak cukup melalui proses hukum, tetapi harus melibatkan institusi yang berfungsi dalam pembinaan mental. Masyarakat juga tidak dapat mengambinghitamkan tingkat kesejahteraan atau peluang kerja yang dianggap sulit didapatkan sebagai faktor penyebab munculnya aksi premanisme dan kejahatan jalanan. Sebenarnya peluang kerja itu cukup banyak, tetapi kurang diminati karena dianggap kurang terhormat. Sehingga dalam hal ini Polri harus melibatkan institusi yang berwenang dalam pembinaan mental, seperti Dinas sosial, agar pelaku aksi premanisme dan kejahatan jalanan itu bersedia melakukan pekerjaan apa pun asalkan halal. Dinas sosial juga perlu menggandeng pihak lain untuk menyalurkan minat dan bakat yang dimiliki pelaku aksi premanisme dan kejahatan jalanan tersebut. Karena perilaku premanisme dan kejahatan jalanan dapat dianggap sebagai penyakit masyarakat yang berasal dari belum tertatanya pola pikir dan kesiapan mental dalam menghadapi problematika hidup.
BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN
A.    Kesimpulan
Fenomena meningkatnya premanisme sudah semakin mengkhawatirkan, dan sudah merupakan masalah public, karena hampir pada setiap sector kehidupan masyarakat dewasa ini dibayang-bayangi dengan tindakan-tindakan premanisme, bahkan kecenderungan masyarakat untuk ikut melakukan perbuatan premanisme sudah merupakan hal yang jamak, di jalan, di kantor, dalam lingkungan social dsb, hal ini perlu mendapat perhatian bersama, karena masalah premanisme merupakan masalah integral yang membutuhkan penanganan yang komprehensif dan efektif serta tepat sasaran. Perlu adanya kerjasama  dari setiap instansi yang bertanggung jawab, baik Pemerintah sebagai pembuat regulasi, pengentasan kemiskinan, ketersediaan lapangan kerja, peningkatan infrastruktur, peningkatan kesejahteraan masyarakat, ketersediaan pemukiman, maupun masalah-masalah keamanan dan ketertiban masyarakat.
Peran serta Polri sebagai Penegak Hukum dan Pelindung, Pengayom, serta Pelayan masyarakat menuntut penanganan Premanisme secara Proporsional dan professional, dengan melakukan tindakan-tindakan tegas terhadap para pelaku-pelaku premanisme dan langkah-langkah nyata untuk mengatasi premanisme ini sebagai masalah bersama dengan melakukan konsolidasi dan sebagai Consultative function untuk memberikan sumbang saran serta menelaah kebijakan-kebijakan public sehingga dapat lebih tepat sasaran, sehingga penanganan premanisme ini bukan seperti mencabut jamur di musim hujan,yang akan terus tumbuh dan semakin banyak jumlahnya. Khususnnya berkaitan dengan tindakan premanisme oleh kelompok, golongan, serta organisasi massa, merupakan factor korelatif kriminogen yang dapat mengakibatkan konflik horizontal antar suku dan golongan dan berpotensi memecah belah bangsa, harus segera di carikan formulanya agar tidak semakin berkembang. Demikian halnya untuk masalah premanisme terselubung yang akrab dengan perbuatan-perbuatan koruptif, perlu adanya kepastian dalam penegakan hukum, yang pada pelaksaannya membutuhkan kerjasama dari para catur wangsa penegak hukum di Indonesia yaitu Polisi, Jaksa, Hakim dan Penasehat hukum, sehingga tercapainya persamaan persepsi dari para penegak hukum, bahwa perbuatan-perbuatan yang cenderung koruptif ini dapat memupuk perbuatan-perbuatan premanisme menjadi semakin subur di masyarakat dan berpotensi menghancurkan sendi-sendi Negara.
B.     Saran
1.      Peran serta Polri dalam menangani maslah-masalah Premanisme tidak dapat dipandang hanya sebagai tugas Kepolisian saja, namun yang lebih penting disini adalah bagaimana cara mengeliminir embrio-embrio munculnya premanisme ini, meskipun banyak contoh di Negara-negara maju yang tingkat kesejahteraannya tinggi juga masih ada kelompok-kelompok premanisme ini bahkan semakin kuat, hal ini tidak lepas dari penyimpangan social, pengaruh globalisasi dan budaya Hedonisme, sehingga upaya-upaya Polri dalam menangani premanisme ini dengan melakukan operasi-operasi kepolisian terpadu bersama instansi-instansi terkait dapat dipilih sebagai salah satu jalan alternative dalam menekan  premanisme, sehingga tidak hanya sekedar melakukan operasi dan kemudian dilepas lagi ditengah-tengah masyarakat, melainkan perlu adanya pembinaan mental, spiritual oleh lembaga atau dinas sosial serta dengan menyediakan lapangan pekerjaan agar tidak kembali terjerumus dalam premanisme, kecuali dalam hal tindakan premanisme yang mengarah pada tindak pidana korupsi perlu adanya tindakan tegas dan hukuman yang berat bagi para pelaku agar menimbulkan efek jera.
2.      Peran serta anggota masyarakat juga tidak dapat diabaikan dalam membantu mencegah timulnya praktek-praktek premanisme, dengan melakukan control social tentunya, masyarakat dapat berperan aktif sebagai penjaga nilai-nilai norma yang berlaku di masyarakat, agar anggota masyarakatnya tidak terjerumus dalam kegiatan premanisme, selain itu peran keluarga juga mempunyai peran sentral, karena keluarga sebagai satuan terkecil dalam masyarakat, dan dari keluarga nilai-nilai social kemasyarakatan itu dibangun.

4 comments:

  1. terimakasih atas infonya, jadi bisa menjawab soal d buku

    ReplyDelete
  2. Jakarta, Aktual.com — Maraknya aksi premanisme yang terjadi di Ibukota Jakarta, membuat Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengambil tindakan tegas. Ahok sapaan Basuki menyebutkan bahwa aksi premanisme tersebut akan langsung berhadapan dengan Polri dan TNI.

    “Kalau masih ada Anda harus berhadapan dengan kami. Kami akan menggelontorkan uang yang banyak untuk TNI dan Polri,” katanya di Jakarta, Jumat (7/8).

    DKI ‘Sogok’ TNI dan Polri Untuk Berantas Premanisme

    ReplyDelete
  3. Kalau perbuatan seorang warga yang berlagak seperti jagoan, kemudian dia pernah memarahi orang lain dengan semena-mena, lalu memelototi orang yang tidak ia sukai, tetapi dia selalu melakukan itu hanya dalam keadaan sepi, dan tidak ada orang lain di sekitar, sehingga membuat orang merasa tidak aman, tidak nyaman, dan takut. Laporan atas perlakuan tersebut hanya di dapat dari korban.

    Apakah perbuatan tersebut termasuk kedalam premanisme?
    Dan apakah bisa di laporkan?

    Mohon jawabannya. Terimakasih sebelumnya.

    ReplyDelete

Terima kasih anda telah memberi komentar