Labels

Monday, January 17, 2011

Peran Polri dalam menekan tindak pidana Korupsi yang dilakukan aparatur Desa



BAB I PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang Masalah
Negara Republik Indonesia adalah sebuah Negara besar yang
Berlandaskan hukum, hal ini berarti bahwa Hukum di Indonesia di junjung Tinggi, sesuai dengan pasal 27 UUD 1945 yang sudah di amandemen; “Bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung  hukum dan Pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Sebagai Basic Law (hukum dasar) UUD 1945 telah mengatur kedudukan warga Negara dan pemerintahan itu sendiri.
Sesuai dengan amanat undang-undang Dasar 1945 maka dibentuklah aparat Negara penegak hukum yaitu Polri yang didasarkan UU no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dalam pasal 13 berbunyi; “dalam mengemban Tugasnya Kepolisian mempunyai Tugas Pokok :
a.    Memelihara Keamanan dan ketertiban masyarakat,
b.  Menegakan hukum,
c.  Melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat.
Sebagai aparat penegak hukum Polri mengemban tanggung jawab yang sangat besar, mengingat tantangan perkembangan zaman maupun pengaruh globalisasi saat ini, Polri dihadapkan pada jenis-jenis dimensi kejahatan yang baru; White colar crime, cyber crime, terorisme, trafficking, illegal maining, illegal fishing, Narkoba, dsb.
Untuk dimensi kejahatan White colar crime terdapat modus-modus kejahatan, seperti Korupsi, money laundering, kejahatan perbankan, kejahatan ekonomi dan fiscal, hingga kejahatan pasar modal. Sebagian besar diantara modus-modus kejahatan ini saling terkait dan merupakan sarana pembuktian dalam pidana. Namun dalam hal Tindak Pidana yang hingga saat ini masih menjadi sorotan dunia, dan sudah mewabah di Indonesia adalah Tindak Pidana Korupsi, dimana Indonesia masih menempati urutan kedua untuk Negara dengan indeks korupsi terbesar. Tindak Pidana Korupsi identik dengan penyelewengan yang terjadi pada aparatur pemerintahan, karena hal ini menyangkut keuangan Negara. 
Didalam susunan pemerintahan Negara Republik Indonesia telah diatur Organisasi dan Tata kerja Pemerintahan dengan Desa termasuk didalamnya. Desa adalah institusi dan entitas masyarakat hukum tertua yang bersifat asli. Keaslian desa terletak pada kewenangan otonomi dan tata pemerintahannya, yang diatur dan dikelola berdasarkan atas hak asal-usul dan adat istiadat setempat. Dengan di terbitkannya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membawa garis kebijakan baru dalam tata kelola pemerintahan daerah dan desa. Undang-undang tersebut memberi ruang begitu besar bagi terlaksananya demokratisasi dan otonomi bagi daerah dalam menata dan mengelola rumah tangganya. Hal ini berimplikasi pada dua hal Positif dan negative, segi Positifnya Desa dapat mengambil suatu kebijakan yang sesuai dengan kultur dan akar budayanya yang berakar dari nilai tradisonal masyarakat Desa tersebut, sedangkan segi Negatifnya, keleluasaan dalam mengatur rumah tangganya sendiri ini terkadang tidak didukung dengan Sumber Daya Manusianya yang baik, yakni dengan terjadinya penyelewengan anggaran, biaya peningkatan atau Mark Up anggaran dan sebagainya, hal inilah yang menimbulkan keprihatinan, Bahkan berdasarkan hasil penelitian yang disadur jumlah para aparatur Desa yang melakukan Tindak Pidana Korupsi baik itu oleh Kepala Desa, Ketua Badan Pembangunan Desa (BPD) maupun aparatur lainnya jumlahnya semakin meningkat, baik secara kuantitas maupun kualitas. Lalu bagaimanakah peran kita sebagai penegak Hukum dalam mensikapi fenomena ini, dan langkah-langkah apakah yang dapat kita perbuat dalam menekan terjadinya Tindak Pidana Korupsi oleh para Kepala Desa ?.

B.   Identifikasi Masalah
Dengan di sahkannya Undang-Undang no 31 tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korusi menjadi landasan luhur dalam memberantas pidana korupsi yang sudah mewabah di Indonesia. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, Tindak pidana korupsi yang terjadi justru semakin mengalami peningkatan baik secara kuantitas maupun kualitas.
Desa sebagai organisasi pemerintahan terkecil yang bersentuhan langsung dengan masyarakat seharusnya dapat menjadi contoh bagi terlaksananya system pemerintahan yang baik, karena unsur-unsur yang ada dalam masyarakat desa adalah wujud partisipasi masyarakat itu sendiri dan untuk kepentingan masyarakat, namun pada kenyataannya, Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh aparatur desa menjadi fenomena yang tidak terbantahkan, dengan semakin banyaknya kepala desa/petinggi yang masuk bui karena masalah Korupsi.

C.   Rumusan Masalah
1.    Bagaimanakah peran Polri dalam penegakan hukum tindak pidana Korupsi ?
2.    Bagaimanakah peran Polri dalam menekan terjadinya Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kepala Desa?

BAB II KERANGKA TEORITIS
                                    Terjadinya tindak pidana disebabkan beberapa faktor, selain karena bertemunya niat dan kesempatan juga karena adanya factor social, factor social inilah yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan tindak pidana, factor social merupakan norma-norma maupun hukum yang berlaku dimasyarakat, namun seringkali norma-norma tersebut diabaikan atau dilanggar, sehingga penyimpangan yang terjadi dalam norma-norma dan hukum di masyarakat ini disebut Penyimpangan Sosial.
1.    Pengertian Penyimpangan Sosial
Secara sosiologis, perilaku menyimpang dapat diartikan sebagai setiap perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma dan hukum yang ada di dalam masyarakat. Perilaku seperti ini terjadi karena seseorang mengabaikan norma atau tidak mematuhi patokan baku dalam masyarakat sehingga sering dikaitkan dengan istilah-istilah negatif. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, ‘menyimpang’ bermakna tidak menurut jalan yang betul, menyalahi kebiasaan, aturan, hukum, dan sebagainya serta menyeleweng atau sesat.
Penyimpangan sosial dapat terjadi dimanapun dan dilakukan oleh siapapun. Sejauh mana penyimpangan itu terjadi, besar atau kecil, dalam skala luas atau sempit tentu akan berakibat terganggunya keseimbangan kehidupan dalam masyarakat.Suatu perilaku dianggap menyimpang apabila tidak sesuai dengan nilainilai dan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat atau dengan kata lain penyimpangan (deviation) adalah segala macam pola perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri (conformity) terhadap kehendak masyarakat.

2.   Definisi-definisi penyimpangan sosial
      a. James W.Van Der Zanden:
Penyimpangan perilaku merupakan perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan diluar batas toleransi.
       b. Robert M.Z.Lawang:
Perilaku menyimpang adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma yang berlaku dalam sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku menyimpang.
c.  Lemert (1951):
Penyimpangan dibagi menjadi dua bentuk:
1)    Penyimpangan Primer (Primary Deviation)
Penyimpangan yang dilakukan seseorang akan tetapi si pelaku masih dapat diterima masyarakat. Ciri penyimpangan ini bersifat temporer atau sementara,tidak dilakukan secara berulang-ulang dan masih dapat ditolerir oleh masyarakat.
Contohnya:
- menunggak iuran listrik, telepon, BTN dsb.
- melanggar rambu-rambu lalu lintas.
- ngebut di jalanan.
2)  Penyimpangan Sekunder (secondary deviation)
      Penyimpangan yang berupa perbuatan yang dilakukan seseorang yang secara umum dikenal sebagai perilaku menyimpang. Pelaku didominasi oleh tindakan menyimpang tersebut, karena merupakan tindakan pengulangan dari penyimpangan sebelumnya. Penyimpangan ini tidak bisa ditolerir oleh masyarakat.
Contohnya:
- pemabuk, pengguna obat-obatan terlarang.
- pemerkosa, pelacuran.
- pembunuh, perampok, penjudi.
- koruptor

3.   Faktor-faktor Penyimpangan Sosial
a. Menurut James W. Van Der Zanden Faktor-faktor penyimpangan sosial
    adalah sebagai berikut :        
1)    Longgar/tidaknya nilai dan norma.
Ukuran perilaku menyimpang bukan pada ukuran baik buruk atau benar salah menurut pengertian umum, melainkan berdasarkan ukuran longgar tidaknya norma dan nilai sosial suatu masyarakat. Norma dan nilai sosial masyarakat yang satu berbeda dengan norma dan nilai sosial masyarakat yang lain. Misalnya:  di Indonesia memberi uang pelicin untuk mengurus sesuatu pada suatu instansi dianggap wajar, namun di masyarakat barat hal tersebut merupakan penyimpangan.
2)    Sosialisasi yang tidak sempurna
Di masyarakat sering terjadi proses sosialisasi yang tidak sempurna, sehingga menimbulkan perilaku menyimpang. Contoh: di masyarakat seorang pemimpin idealnya bertindak sebagai panutan atau pedoman, menjadi teladan namun kadangkala terjadi pemimpin justru memberi contoh yang salah, seperti melakukan KKN. Karena masyarakat mentolerir tindakan tersebut maka terjadilah tindak perilaku menyimpang.
3)    Sosialisasi sub kebudayaan yang menyimpang
Perilaku menyimpang terjadi pada masyarakat yang memiliki nilai-nilai sub kebudayaan yang menyimpang, yaitu suatu kebudayaan khusus yang normanya bertentangan dengan norma-norma budaya yang dominan/ pada umumnya.
b. Menurut Casare Lombroso Perilaku menyimpang disebabkan oleh factor-factor sebagi berikut :
            1)   Biologis
Misalnya orang yang lahir sebagai pencopet atau pembangkang. Ia    membuat penjelasan mengenai “si penjahat yang sejak lahir”. Berdasarkan ciri-ciri ertentu orang bisa diidentifikasi menjadi penjahat atau tidak. Ciri-ciri fisik tersebut antara lain: bentuk muka, kedua alis yang menyambung menjadi satu dan sebagainya.
            2).  Psikologis
Menjelaskan sebab terjadinya penyimpangan ada kaitannya dengan kepribadian retak atau kepribadian yang memiliki kecenderungan untuk melakukan penyimpangan. Dapat juga karena pengalaman traumatis yang dialami seseorang.
            3).  Sosiologis
Menjelaskan sebab terjadinya perilaku menyimpang ada kaitannya dengan sosialisasi yang kurang tepat. Individu tidak dapat menyerap norma-norma kultural budayanya atau individu yang menyimpang harus belajar bagaimana melakukan penyimpangan
c.  Faktor Penyebab timbunya Penyimpangan Intrinsik dan Ekstrinsik
            1)   Faktor dari dalam (intrinsik)
Setiap orang mempunyai intelegensi yang berbeda-beda. Perbedaan intelegensi ini berpengaruh dalam daya serap terhadap norma-norma dan nilai-nilai sosial. Orang yang mempunyai intelegensi tinggi umumnya tidak kesulitan dalam bergaul, belajar, dan berinteraksi di masyarakat. Sebaliknya orang yang intelegensinya di bawah normal akan mengalami berbagai kesulitan dalam belajar  maupun menyesuaikan diri di masyarakat. Namun hal ini seringkali menjadi dilematis, seseorang yang memiliki tingkat intelegensi yang tinggi dapat melakukan suatu kejahatan yang lebih besar akibatnya bagi masyarakat, karena tingginya tingkat intelegensi tidak diimbangi dengan moral yang baik pula, sehingga menimbulkan penyimpangan.
2)   Faktor dari luar (ekstrinsik)
a). Peran keluarga
Keluarga sebagai unit terkecil dalam kehidupan sosial sangat besar peranannya dalam membentuk pertahanan seseorang terhadap serangan penyakit sosial sejak dini. Dalam sebuah keluarga yang selalu menerapkan kejujuran dan kedisiplinan menjadi panutan bagi seseorang dalam berperilaku dalam lingkungannya maupun tempatnya bekerja.
b) Peran masyarakat
Pola kehidupan masyarakat tertentu kadang tanpa disadari oleh para warganya ternyata menyimpang dari nilai dan norma sosial yang berlaku di masyarakat umum. Itulah yang disebut sebagai subkebudayaan menyimpang. Misalnya masyarakat yang sebagian besar warganya hidup mengandalkan dari usaha prostitusi, maka anak-anak di dalamnya akan menganggap prostitusi sebagai bagian dari profesi yang wajar. Demikian pula seseorang yang tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakat penjudi atau peminum minuman keras, maka akan membentuk sikap dan pola perilaku menyimpang.
c) Pergaulan
Pola tingkah laku seseorang sering kali dipengaruhi oleh pergaulan, Apabila teman bergaulnya baik, dia akan menerima konsep-konsep norma yang bersifat positif. Akan tetapi jika teman bergaulnya kurang baik, sering kali akan mengikuti konsep-konsep yang bersifat negatif. Misalnya di suatu instansi sebagian besar pegawainya sudah terbiasa menerima uang suap sebagai uang pelicin untuk mengurus surat atau akte tertentu, maka orang yang bekerja ditempat itu akan merasa bahwa menerima suap adalah suatu kewajaran.
d)  Media massa
Berbagai tayangan di televisi tentang gaya hidup bermewah-mewahan berfoya-foya, menggunakan narkoba, seks bebas, dsb, dapat mempengaruhi perkembangan perilaku individu.
                       
4. Norma Hukum sebagai alat untuk mencegah terjadinya Penyimpangan social dan memberi efek jera terhadap pelaku penyimpangan tersebut.
     Hukum menurut para ahli, dapat didefinisikan sebagai berikut:
a.    Prof Sahardjo : sebagai alat mengayomi masyarakat
b.    G. Niemeyer : alat mengatur kegiatan manusia
c.    L. Pospisil : alat untuk mengendalikan masyarakat kearah yang tertib.
d.    Roscoe Pound : Tool Of Social Engineering = alat untuk melakukan perubahan pola pikir masyarakat
e.    Teori Terpadu : Four In One = hukum sebagai alat mengayomi mengatur , mengendalikan dan mengubah masyarakat
f.     Teori Etis = isi hukum semata-mata harus di tentukan oleh kesadaran etis kita (rasa etika ) mengenai apa adil dan apa yang tidak adil . aristoteles menganut teori ini dalam bukunya rhetorica & amprica necomachea berpendapat “tujuan hukum itu semata-mata untuk mewujudkan keadilan. Menurut dia keadilan terbagi 2 jenis :
1)  Keadilan distributive : keadilan yang memberikan kepada setiap orang bagian sesuai jasanya ,atas dasar prinsip kesebandingan.
2)  Keadilan komutatif : memberikan kepada setiap orang sama banyaknya tanpa mengingat jasanya.
g.    Teori Utilitas = hukum bertujuan mewujudkan apa yang berfaedah, “kebahagian terbesar untuk jumlah terbanyak” .“The greatest happiness for the greatest number”, hukum bisa dikatakan berhasil apabila
sebanyak mungkin dapat mewujudkan keadilan ( Jeremy Betham dalam bukunya the principles of morals and legislation 1780M). Hukum dengan kekuasaan saling melengkapi,ucapan Prof . Muhtar Khusumahatmadja yang sangat popular.“hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kesewenang-wenangan”.
Kelemahan teori ETIS & amp; UTILITAS adalah terlalu berat sebelah, terlalu mengagungkan keadilan dengan mengabaikan kepastian hukum. Dengan terabaikannya kepastian hukum akan terganggu ketertiban, padahal dengan terwujudnya ketertiban maka akan terwujud pula keadilan.

BAB III METODOLOGI PENULISAN
A.   Metodologi Penelitian
Metodologi Penelitian yang digunakan dalam penyusunan Naskah Karya Perorangan ini dengan melakukan pendekatan metodologi penelitian Kuantitatif, mengumpulkan, mengolah dan menganalisis data serta mengambil kesimpulan dengan generalisasi.
Secara umum kegiatan penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1.    Pemilihan masalah;
a.    Menguraikan latar belakang masalah penelitian
b.    Mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan variable penelitian
c.    Merumuskan masalah
2.    Penyusunan kerangka teoritis dan pengajuan hipotesis:
a.    Mengkaji beberapateori yang relevan dengan variable penelitian
b.    Mengkaji berbagai hasil penelitian yang relevan
c.    Menyusun kerangka berpikir yang mengarahkan perumusan hipotesis
3.    Menyusun rancangan penelitian:
a.    Menentukan tempat dan waktu penelitian
b.    Menentukan metode Penelitian yang digunakan
c.    Menentukan sumber data
4.    Menyususn instrument penelitian:
a.    Mengkaji dengan cermat teori dan hasil penelitian yang menguraikan hakikat variable-variabel penelitian.
b.    Menjabarkan variable-variabel tersebut menjadi sub variable
c.    Mencari indicator dari setiap sub variable
d.    Mencari descriptor dari setiap indicator
e.    Merumuskan setiap descriptor emnjadi butir instrument.
5.    Mengumpulkan data
6.    Pengolahan dan analisis data
7.    Membuat kesimpulan dan saran penelitian.

B.   Sumber Informasi
Sumber informasi yang digunakan untuk melengkapi naskah karya perorangan ini diambil dan disadur dari berbagai sumber yang valid dan reliable;
1.    Data table penanganan tindak pidana korupsi yang terjadi di wilayah hukum Polres Jepara dalam kurun waktu 2005-2010.
2.    Analisa yuridis dan resume kasus korupsi kepala desa di wilayah hukum Polres Jepara.
3.    Modul A2536; Metodologi Penelitian; PTIK, Juli 2008
4.    UUD 1945 yang sudah diamandemen
5.    UU no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
6.    UU no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan dan otonomi daerah
7.    UU no 31 tahun 1999 tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi
8.    Sumber-sumber Teori hukum dan social.


BAB IV PEMBAHASAN
1.    Bagaimanakah peran Polri dalam penegakan hukum tindak pidana Korupsi ?
Pasca Reformasi yang terjadi pada tahun 1998, bangsa ini dihadapkan pada pencarian jati diri, ibaratnya bangsa yang baru saja merdeka dari penjajahan, namun dalam pencarian jati diri ini tidak diiringi dengan kearifan, sehingga euphoria demokrasi yang diagung-agungkan menjadi over atau berlebihan. Disebut berlebihan karena prinsip Demokrasi yang secara etimologi mempunyai makna Pemerintahan oleh Rakyat telah salah ditafsirkan, Pemerintah sebagai pembuat regulasi dan pengayom masyarakat menjadi sebuah mesin pencetak uang bagi para Koruptor.
Dahulu sebelum reformasi bergulir Negara ini ada dalam kekuasaan otoriter, meskipun syarat untuk menjadi sebuah Negara Demokrasi sudah tercukupi, dimana ada pembagian kekuasaan dan kewenangan yang jelas; eksekutif, yudikatif, dan legislative. Namun kini setelah reformasi,bangsa ini kembali dihadapkan pada permasalahan yang cukup pelik, terjerumus dalam system yang diwariskan secara turun temurun oleh generasi sebelumnya, yaitu Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
                 Dalam situasi ini Negara membutuhkan regulasi yang jelas dan aparat penegak hukum yang capable (memiliki kemampuan), sehingga disahkannya Undang-Undang no 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terbitnya Undang-undang ini menjadi landasan dan memupuk semangat baru dalam memberantas Korupsi.
Korupsi menurut Undang-undang no 31 tahun 1999, pada pasal 2 dijelaskan yaitu     Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara”. sedangkan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan dalam jabatannya juga masuk dalam ranah Korupsi bila perbuatannya itu merugikan keuangan Negara, seperti yang tercantum dalam pasal 3; “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara”.
Lalu bagaimanakah peran Polri dalam penegakan hukum Tindak Pidana korupsi?, dalam Undang-undang No 2 tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia pada pasal 14 huruf g menyebutkan “Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan Penyelidikan dan Penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya”. Dan sesuai dengan bunyi pasal 25 UU no 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya”, Hal ini selaras dengan semangat reformasi Polri yang membuat grand strategi Polri dengan Kebijakan Strategis Pimpinan Polri di dalamnya, Bahwa  pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah merupakan prioritas bagi Polri. Peran Polri disini menjadi sangat penting, karena Polri menjadi ujung tombak dalam penegakan hokum, meskipun dalam perkembangannya selain Polisi dan Jaksa, Negara membentuk lembaga lain yang khusus menangani tindak pidana Korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hal ini disebabkan karena Tindak Pidana Korupsi adalah Kejahatan yang merupakan ekstra ordinary crime dan mempunyai implikasi sangat besar bagi terhambatnya kemajuan Negara, juga sebagian besar pelaku korupsi berada pada jalur birokrasi yang memegang kekuasaan sehingga di butuhkan lembaga superbodi agar bisa melewati regulasi yang ada.
Sebagai contoh peran Polri dalam melakukan penyidikan Korupsi terhadap kasus BNI, kasus korupsi yang dilakukan oleh Gubernur ataupun Bupati, dalam prosesnya Polri menghadapi banyak kendala, untuk melakukan pemblokiran terhadap suatu rekening Bank yang diduga sebagai hasil pidana korupsi, Polri harus memiliki bukti awal yang cukup dan didasari dengan Laporan Polisi yang resmi, dikirimkan melalui Bank Indonesia dan harus mendapat persetujuan dari Gubernur Bank Indonesia, yang tentu saja prosesnya memakan waktu yang cukup lama. Demikian halnya dalam melakukan pemeriksaan baik sebagai saksi maupun Tersangka terhadap para Kepala Daerah seperti Gubernur maupun Bupati, Polri harus mendapatkan persetujuan oleh Presiden melalui Kementerian Dalam Negeri yang sudah barang tentu juga memerlukan waktu yang tidak sedikit. Namun dengan segala keterbatasannya itu Polri selalu berusaha ekstra keras untuk bersama-sama lembaga terkait dalam memberantas Korupsi. Karena korupsi adalah musuh bersama yang harus diperangi tidak hanya dari luar akan tetapi juga dari dalam lembaga Kepolisian itu sendiri, ada anekdot yang mengatakan bahwa mustahil membersihkan lantai yang kotor dengan sapu yang kotor, artinya mustahil Polri mampu memberantas Korupsi bila dari dalam internal kepolisian sendiri masih melakukan perbuatan-perbuatan yang koruptif; seperti pungutan liar, makelar kasus, jual beli jabatan, dsb.
           
2.    Bagaimanakah peran Polri dalam menekan terjadinya Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kepala Desa?.

              Menurut data yang ada terjadi peningkatan kasus korupsi yang melibatkan kepala desa yang di tangani oleh Polri,  belum termasuk kasus korupsi lain yang ditangani oleh Kejaksaan, tentunya hal ini menimbulkan keprihatinan, mengingat  para  kepala desa tersebut dipilih oleh rakyat secara langsung. Berpijak pada factor-faktor penyimpangan social yang dikemukakan oleh James W. Van Der Zanden, adalah sebagai berikut :        
1)    Longgar/tidaknya nilai dan norma.
Ukuran perilaku menyimpang bukan pada ukuran baik buruk atau benar salah menurut pengertian umum, melainkan berdasarkan ukuran longgar tidaknya norma dan nilai sosial suatu masyarakat. Norma dan nilai sosial masyarakat yang satu berbeda dengan norma dan nilai sosial masyarakat yang lain.
2)    Sosialisasi yang tidak sempurna
Di masyarakat sering terjadi proses sosialisasi yang tidak sempurna, sehingga menimbulkan perilaku menyimpang. Contoh: di masyarakat seorang pemimpin idealnya bertindak sebagai panutan atau pedoman, menjadi teladan namun kadangkala terjadi pemimpin justru memberi contoh yang salah, seperti melakukan KKN. Karena masyarakat mentolerir tindakan tersebut maka terjadilah tindak perilaku menyimpang.
Hal ini menjadi relevan ditengah masyarakat Indonesia yang sebagian besar berpendidikan rendah, utamanya pada daerah-daerah terpencil maupun di pedesaan-pedesaan yang jauh dari pusat pemerintahan, karena pola pikir masyarakat masih tradisional sehingga menberi kesempatan bagi para penguasa daerah maupun kepala desa/petinggi untuk melakukan korupsi, yang sedianya anggaran desa tersebut dialokasikan bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat desa, baik itu berupa bantuan pembangunan puskesmas, bantuan hewan ternak, pembangunan jalan, pembangunan sekolah, prasarana umum dsb, akan tetapi dialihkan penggunanaannya atau diselewengkan. Selain karena factor-faktor yang telah disebutkan diatas, rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia yang menjadi aparatur desa juga menjadi salah satu sebab maraknya kasus Korupsi di desa-desa, hal ini dikarenakan system manajemen dan administrasi baku yang telah ditetapkan pemerintah pusat, tidak bisa dipahami secara merata oleh para aparatur desa, sehingga pada prakteknya masih menggunakan system administrasi yang sudah ada sebelumnya, sebagai contoh; alokasi anggaran yang seharusnya untuk pembangunan sarana kesehatan atau puskesmas, dialihkan untuk pembangunan kantor balai desa, dan pengalihan tersebut tanpa melalui prosedur atau penetapan dari Pemerintah Kabupaten, sehingga secara legal formal hal tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Menilik dari kasus-kasus yang terjadi, Polri sebagai penegak hokum, pelindung dan pengayom masyarakat harus dapat menjadi pionir dalam penanganan kasus korupsi tersebut, agar dapat lebih proposional. Merujuk pada pendapat Jeremy Betham dalam bukunya The Principles of morals and legislation 1780 M; “hukum bertujuan mewujudkan apa yang berfaedah, “kebahagian terbesar untuk jumlah terbanyak”, “The greatest happiness for the greatest number”, hokum bisa dikatakan berhasil apabila sebanyak mungkin dapat mewujudkan keadilan atau lebih dikenal dengan Teori Utilitas. Meskipun teori ini lebih mengedepankan pada terwujudnya rasa keadilan masyarakat bukan kepastian hukum, namun hal ini di rasa lebih tepat, melihat fakta yang ada bahwa Kasus Korupsi yang terjadi nilainya tidak sebanding dengan ancaman hukuman yang diberikan, bahkan biaya yang dibutuhkan dalam proses penyidikan hingga persidangan lebih besar dari jumlah uang yang dikorupsi, terlebih lagi sebagian kasus Korupsi itu terjadi karena masalah administrasi, disinilah peran Polri sebagai pengayom harus bisa menjadi jembatan bagi ketimpangan-ketimpangan tersebut, dengan melakukan sosialisasi hukum, seminar, maupun mengundang para kepala Desa beserta Sekretaris Desa untuk mengikuti pelatihan administrasi dan pertanggung jawaban keuangan guna meminimalisir terjadinya Kasus Korupsi oleh para Kepala Desa. Sehingga dengan demikian dapat mewujudkan rasa keadilan dalam masyarakat, dan menciptakan kerukunan antar warga.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A.   Kesimpulan
Peran Polri dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi sangatlah penting, karena Polri mempunyai tugas sebagai Penyidik terhadap semua kasus Pidana menurut cara-cara yang diatur dalam KUHAP maupun perundang-undangan lainnya. Pemberantasan Korupsi juga selaras dengan Kebijakan Strategis Polri yang memprioritaskan kasus-kasus menonjol seperti Korupsi, Ilegal loging, illegal maining, illegal fishing, trafficking, Judi, Narkoba, dan premanisme. Dalam penanganan pemberantasan Korupsi ini Polri juga harus bersinergi dengan lembaga-lembaga terkait lainnya yang termasuk dalam Criminal Justice System, sehingga dapat mengungkap kasus-kasus korupsi berikut motif dan pelakunya serta menyelamatkan uang Negara.
Peran Polri dalam menekan terjadinya Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kepala Desa di wilayah hukum Polres Jepara, adalah dengan melakukan upaya-upaya hukum secara Profesional dan Proporsional, dan sebagai pengayom masyarakat Polri juga dapat mengadakan sosialisasi maupun seminar-seminar tentang hukum pidana korupsi, mengadakan pelatihan-pelatihan administrasi maupun pembuatan laporan pertanggungjawaban anggaran, sehingga Polri dapat memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat dan menciptakan keharmonisan antar warga masyarakat.
           
B.   Saran-saran
1.    Tindak Pidana Korupsi merupakan tindak pidana yang paling sulit dalam pembuktiannya, karena melibatkan banyak pihak terkait dan biasanya melibatkan pejabat pembuat regulasi sehingga seolah-olah melegalkan perbuatannya, hal ini membutuhkan Penyidik-penyidik Polri yang handal, oleh karenanya dibutuhkan pelatihan-pelatihan khusus yang sifatnya kontinyu dan berkesinambungan, serta banyak melakukan sharing pengalaman dengan Negara-negara lain yang lebih berpengalaman dalam melakukan pemberantasan korupsi.
2.    Tanpa peraturan perundang-undangan yang mendukung kinerja kepolisian, kejaksaan maupun KPK, maka penegakan hukum pidana Korupsi menjadi sangat sulit dan tidak dapat menyentuh hingga akar-akarnya, pun demikian juga tidak dapat mengembalikan kerugian Negara. Sehingga perlu dirancang undang-undang tindak pidana korupsi yang lebih relevan untuk saat ini dan di masa-masa mendatang, agar dapat mencegah terjadinya Korupsi, menimbulkan efek jera, dan mengembalikan kerugian Negara. Selain itu perlunya dalam perundang-undangan tersebut menggolongkan korupsi dalam berbagai tingkatan besar kecilnya kerugian Negara yang ditimbulkan maupun motif, beserta system peradilannya agar pada penerapan hukumnya dapat lebih proporsional.

                       

           
           







                       
          
Daftar Pustaka

1.  Modul A2536; Metodologi Penelitian; PTIK, Juli 2008
2.  UUD 1945 yang sudah diamandemen, d.wikipedia.org/.../Undang-Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_Tahun_1945, tahun 2010.
3.  UU no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,  www.kpu.go.id/dmdocuments/UU%20KEPOLISIAN.pdf , tahun 2010
4.  UU no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan dan otonomi daerah,  www.bappenas.go.id/.../uu-no-32-tahun-2004-tentang-pemerintahan-daerah, tahun 2010.
5.  UU no 31 tahun 1999 tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi, www.kpk.go.id/modules/edito/content_other.php?id=44, tahun 2010
6.  Sumber-sumber Teori hukum, www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=art+7...Teori%20Hukum, Tahun 2010.
7.  PIP Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial, Yayasan Obor Indonesia, tahun 2010.