Labels

Thursday, March 24, 2011

Polri dan Premanisme beserta solusinya


BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Negara Republik Indonesia adalah sebuah Negara yang berlandaskan hukum, hal ini berarti bahwa Hukum di Indonesia di junjung Tinggi, sesuai dengan pasal 27 UUD 1945 yang sudah di amandemen; “Bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung  hukum dan Pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Sebagai Basic Law (hukum dasar) UUD 1945 telah mengatur kedudukan warga Negara dan pemerintahan itu sendiri.
Sesuai dengan amanat undang-undang Dasar 1945 maka dibentuklah aparat Negara penegak hukum yaitu Polri yang didasarkan UU no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dalam pasal 13 berbunyi; “dalam mengemban Tugasnya Kepolisian mempunyai Tugas Pokok :
a.       Memelihara Keamanan dan ketertiban masyarakat,
b.  Menegakan hukum,
c.  Melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat.
Sebagai aparat penegak hukum Polri mengemban tanggung jawab yang sangat besar, mengingat tantangan perkembangan zaman maupun pengaruh globalisasi saat ini, setidaknya secara garis besar Polri dihadapkan pada 3 jenis dimensi kejahatan; yaitu Kejahatan Transnasional, Kejahatan Konvensional dan Kejahatan Kerah putih atau White Colar Crime, Kejahatan Transnasional atau lintas batas meliputi; Cyber crime, Terorisme, Human Trafficking, Illegal maining, Illegal fishing, Narkoba, dsb. Kejahatan Konvensional seperti Premanisme, Pembunuhan, Pencurian, Perampokan , Penipuan dsb. Sedangkan untuk dimensi kejahatan White colar crime terdapat modus-modus kejahatan, seperti Korupsi, money laundering, kejahatan perbankan, kejahatan ekonomi dan fiscal, hingga kejahatan pasar modal. Dari berbagai macam kejahatan tersebut sudah secara jelas diatur baik pasal Pidana maupun ancaman hukumannya dalam peraturan Perundangan yang berlaku, kecuali Kejahatan Premanisme.

Definisi Premanisme sendiri tidak dapat di temukan secara baku pada perundang-undangan yang ada, melainkan premanisme sering  dianalogikan sebagai individu atau sekelompok orang yang melakukan tindakan-tindakan yang merugikan dan mengganggu kepentingan umum, seperti pemerasan, pengancaman, penganiayaan, tawuran, membuat orang lain merasa takut, mabuk dimuka umum dsb, hal ini seringkali kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, pada jalan-jalan tertentu yang cukup sepi terkadang terjadi pemerasan secara paksa dengan menggunakan ancaman maupun kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang tertentu pada umumnya berwajah seram dan memiliki tattoo pada bagian tubuhnya atau yang seringkali disebut dengan istilah pemalakan, kemudian pada tempat-tempat parkir kendaraan bermotor yang tidak resmi, yang terkadang memaksa orang untuk membayar lebih dari ketentuan ongkos parkir yang berlaku, belum lagi pada pedagang-pedagang di pasar atau warung-warung tradisional dan toko yang harus membayar uang “keamanan” yang sebenarnya terdengar janggal karena sebenarnya mereka membayar uang keamanan agar merasa aman dari orang-orang yang meminta uang tersebut, selain preman-preman dijalan ada juga preman-preman yang dikelola sebagai jasa keamanan di tempat-tempat hiburan, diskotik, kafe-kafe maupun tempat-tempat prostitusi, yang seringkali memicu terjadinya perkelahian antar kelompok maupun golongan preman yang berasal dari satu suku tertentu dengan suku yang lain dan dapat memicu terjadinya konflik SARA, seperti yang baru saja terjadi di diskotik Blowfish Jakarta Selatan yang akhirmya berkembang menjadi perkelahian terbuka di depan PN. Jakarta Selatan dan memakan korban jiwa serta kerugian material yang tidak sedikit, ada juga preman-preman yang dipekerjakan secara resmi pada lembaga-lembaga financial seperti Leasing maupun perusahaan penyedia layanan Kartu kredit, dimana pada pelaksanaan tugasnya seringkali menggunakan cara-cara yang tidak dibenarkan dan cenderung menimbulkan rasa takut atau tidak nyaman, namun saat ini mungkin yang paling banyak menyita perhatian masyarakat adalah tindakan-tindakan premanisme yang dilakukan oleh oknum ormas tertentu yang terkadang mengatasnamakan agama atau golongan, akibat yang ditimbulkanpun terlihat lebih masiv, karena biasanya oknum tersebut jumlahnya cukup banyak dan tindakan yang dilakukan cenderung emosional, sehingga mereka tidak takut terhadap aparat Kepolisian maupun dengan masyarakat lain yang merasa dirugikan, lalu apakah yang menyebabkan fenomena premanisme ini menjadi semakin berkembang dan beragam modus serta bentuknya, bagaimanakah Negara dalam hal ini Kepolisian Negara Republik Indonesia mensikapi ini, adakah regulasi yang mampu melindungi hak-hak masyarakat dari tindakan-tindakan premanisme yang sudah sangat meresahkan,  dengan demikian apa bedanya premanisme dengan kejahatan Konvensional yang lain.
           
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah peran serta Polri dalam menangani Premanisme ?
2.      Mengapa premanisme dipandang sebagai masalah public?
3.      Bagaimanakah solusi terbaik secara analitis dalam penanganan terhadap premanisme ?

BAB II PEMBAHASAN
           
1.      Peran Serta Polri dalam menangani Premanisme di masyarakat
Asal kata preman berasal dari bahasa Inggris “freeman” yang artinya manusia bebas. Di beberapa kamus bahasa Indonesia akan kita temukan paling tidak 3 arti kata preman, yaitu: 1. swasta, partikelir, non pemerintah, bukan tentara, sipil. 2. sebutan orang jahat (yang suka memeras dan melakukan kejahatan) 3. kuli yang bekerja menggarap sawah. Namun khusus kata premanisme, dipakai untuk arti kata yang kedua, yaitu sifat-sifat seperti orang yang suka memeras dan melakukan kejahatan.
Di Indonesia, upaya untuk memberantas dan memerangi premanisme sebetulnya bukan hal yang terlalu baru. Selama ini, sudah berkali-kali polisi menggelar berbagai operasi pemberantasan preman, namun hasilnya seringkali tidak efektif. Saat operasi diadakan, memang premanisme seolah-olah tiarap. Tetapi, setelah stamina aparat mulai berkurang, biasanya, pelan-pelan aksi premanisme kembali muncul, bahkan dengan skala yang makin mencemaskan. Ada kesan kuat, ketika ulah preman itu makin ditekan, ternyata dalam perkembangannya, ulah mereka justru makin resistan dan taktis menyiasati tekanan. Sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang terkategori marginal, para preman yang banyak beroperasi di berbagai kota besar di Indonesia tidak lagi sekadar melakukan aksi kejahatan kelas teri seperti memaksa pemilik kendaraan bermotor membayar tiket parkir dua kali lipat dari tarif atau memalak para pemilik toko untuk menyediakan uang keamanan. Tetapi, lebih dari itu, yang mereka lakukan kini tak jarang adalah mengembangkan aksi dalam pola yang lebih terorganisasi -ikut dalam kegiatan dan kepentingan politik praktis- sehingga posisi tawar (bargaining position) mereka menjadi lebih kuat. Bahkan, terkadang mereka juga cukup dekat dengan pusat-pusat kekuasaan tertentu. Habitat yang menjadi area subur bagi perkembangan aksi premanisme kini tidak lagi hanya di dunia prostitusi, perjudian, dan dunia kriminal lain. Sebagian yang lain bahkan diduga telah berhasil menanamkan uang hasil palakannya di berbagai usaha yang sifatnya legal.
Di dunia premanisme, justru dengan kedigdayaan, kekenyalan, dan daya tahan, mereka tetap survive dan mampu menyiasati tekanan sekeras apa pun dari polisi karena di antara mereka berkembang apa yang disebut Hans-Dieter Evers (2002) sebagai kohesi sosial dan proses pembelajaran. Seorang preman yang berhasil ditangkap aparat dan kemudian dijebloskan ke penjara karena terbukti melanggar hukum niscaya tidak kapok dan setelah bebas akan meninggalkan dunia premanisme. Dalam kenyataan, yang sering terjadi adalah penjara justru menjadi sekolah baru yang makin mematangkan semangat mereka untuk lebih masuk dalam pusaran dunia premanisme, mengembangkan jaringan yang lebih kuat, dan akhirnya membangun kerajaan baru di dunia kriminal yang lebih solid.
Dilihat dari tempat dan kejadian, bentuk premanisme terbagi atas; Premanisme Terbuka; Bentuk premanisme ini berupa pemerasan langsung dengan meminta sejumlah uang atau materi dengan ancaman, atau melakukan pengrusakan serta penganiayaan terhadap orang maupun kelompok lain. Biasanya pelakunya orang orang yang nekad dan agak ekstrim. Premanisme Terselubung; Bentuk premanisme ini tidak terlihat langsung, proses dan reaksinya hanya dirasakan oleh korban yang dituntut untuk mengeluarkan biaya diluar aturan. Bentuk premanisme ini biasanya di lingkungan birokrasi yang tumbuh akibat kebutuhan seseorang yang dimanfaatkan oleh oknum dari dalam atau dari luar yang tidak bertanggung jawab. Yang lebih fatal lagi aturan main ini kadang dijadikan sebuah budaya. Bentuk premanisme ini yang kini sangat membudaya disekitar kita dengan mengatasnamakan kemudahan dan kepuasan pelayanan. Yang secara tidak sadar kita telah terkondisikan akan situasi tersebut. Secara tidak sadar pula hal itu telah memupuk pertumbuhan prilaku premanisme terselubung yang bisa saja dituruti oleh prilaku tersebut akan diulangi oleh penerusnya. Bahkan kemungkinan besar akan ditiru oleh pihak lain dari kegiatan yang sejenis.
Mencermati kondisi yang demikian hal ini sudah merupakan kewajiban Polri dalam mengatasi setiap bentuk-bentuk premanisme, namun hal tersebut bukanlah hal yang mudah, banyak hambatan-hambatan yang di jumpai oleh Polri di lapangan pada pelaksanaan tugasnya, karena bentuk-bentuk premanisme terbuka seperti yang disebutkan hanya menyentuh pada pelaku dilapangan atau biasa disebut preman jalanan, dan tidak dapat menyentuh pada akar maupun actor intelektual di belakang praktek-praktek premanisme jalanan ini, bukan rahasia lagi bahwa para preman-preman ini sebagian besar dikelola, bahkan di manaje secara sistematis. Utamanya dalam hal menertibkan tindakan-tindakan premanisme yang dilakukan oleh organisasi massa tertentu dari kelompok golongan tertentu, bahkan pada saat sebelum dimulainya tindakan-tindakan premanisme ini mereka melakukan konsolidasi, dan persiapan matang sebelum sampai pada sasaran, dan dengan memanfaatkan psikologi massa sehingga menjadi semakin sulit untuk ditertibkan kecuali dengan cara-cara represif yang sudah pasti akan menimbulkan korban jiwa. Kemudian dalam hal penertiban premanisme terselubung, yang lekat dengan tindakan-tindakan yang koruptif, meskipun sudah ada regulasi yang jelas dengan disahkannya Undang-undang anti Korupsi, namun hal tersebut sangat sulit diberantas, karena sudah merupakan budaya birokrasi, kecuali dalam hal ini Polri layaknya KPK menjadi sebuah lembaga superbodi yang bisa masuk dalam setiap lini birokrasi, maupun perbankan tanpa melalui prosedur birokrasi yang rumit.
Dengan demikian peran serta Polri didalam menangani Premanisme ini hendaknya tidak dapat dilihat hanya sebagai penegakan hukum saja namun bagaimanakah penanganan yang secara lebih komprehensif dapat dilakukan, agar mencapai hasil yang diharapkan oleh masyarakat, karena Tugas Polri selain sebagai Penegak Hukum juga sebagai Pelindung, Pengayom, Pelayanan masyarakat. Mencoba menempatkan premanisme ini sebagai salah satu permasalahan yang harus dicari solusi maupun jalan keluarnya mungkin lebih baik dibandingkan hanya mengganggapnya sebagai musuh, dan ini tidak lepas dari kerjasama serta kordinasi antar instansi terkait sebagai Stake Holder guna memberikan rasa aman, nyaman, serta tertib di masyarakat.
2.       Premanisme sebagai masalah public
Meningkatnya fenomena premanisme ini bukan hanya dilihat dari apa yang tampak saja, melainkan seperti apa yang telah dipaparkan diatas dalam Premanisme Terselubung, dimana hal tersebut sudah merupakan rahasia umum, bahwa pelbagai instansi di Indonesia dari tingkat pusat dan daerah menjadi sarang "premanisme", pusat "ngobyek", dan bebas mengatur jam kerja. Kerja santai dan pulang cepat serta mempersulit urusan adalah gambaran singkat kinerja pegawai negeri. Sekitar pukul 13.00 dan pukul 14.00 kantor pemerintah sudah banyak yang kosong. Menurut para pelaku usaha, dunia preman dan birokrasi di Indonesia hanya memiliki perbedaan tipis, yakni sebatas seragam dinas. Peras-memeras untuk mengurus pelbagai izin dari tingkat kelurahan hingga pusat telah membuat ekonomi Indonesia terus melambat, bukannya menjadi fasilitator, oknum pemerintah justru menghambat kinerja perekonomian nasional.
Hal inilah yang menimbulkan keprihatinan masyarakat, dan juga menjadi salah satu penyebab makin suburnya premanisme yang terjadi di tengan-tengah masyarakat, karena pada akhirnya para pelaku premanisme tersebut menganggap bahwa apa yang dilakukannya adalah hal yang wajar dan benar menurut dirinya, sehingga pola yang terjadi pada masyarakat dimana Premanisme yang awalnya adalah kaum yang marjinal menjadi berkebalikan dengan masyarakat, bahwa anggota masyarakat yang tidak melakukan perbuatan-perbuatan premanisme akan makin terpinggirkan. Sebenarnya fenomena ini sudah mulai tampak dalam kehidupan sehari-hari; dimana masyarakat saat ini cenderung lebih arogan dan tidak taat aturan, sifat pemberontakan diri inilah sebagai cikal bakal tindakan-tindakan premanisme, yang artinya tidak mau diatur, sebagai contoh; dalam berkendara saat ini orang sudah tidak mau menghormati sesama pengguna jalan, kebut-kebutan, dan ugal-ugalan, tidak mau menggunakan helm, melalui jalan yang bukan peruntukannya, melanggar lampu lalu lintas, tidak mau memberikan kesempatan bagi pejalan kaki yang akan menyeberang di tempat penyeberangan, membuang sampah di jalan dsb, dalam lingkungan social orang sudah tidak lagi mau mengenal tetangga terdekatnya karena menilai semua masalah dapat diselesaikan dengan cara-cara kekerasan maupun dengan memanfaatkan uang dan kekuasaaan, Masalah-masalah ini akan menjadi semakin kompleks bila tidak dicarikan solusinya, dan dalam skala yang lebih besar dapat melumpuhkan ekonomi maupun sumber daya suatu Negara, bahkan berimbas pada kehancuran Negara.
Lalu siapakah yang akan disalahkan, bila kondisi sudah semakin tidak dapat dikendalikan, jawabannya ada pada diri kita masing-masing, tergantung konteks dimana kita bekerja dan bersosialisasi, budaya hanyalah satu aturan yang bila kita tahu sebenarnya kita pun dapat merubahnya, tergantung mau atau tidak, bila dalam lingkungan kerja kita mampu bekerja professional, dan taat aturan maka bukan hal yang mustahil masalah public ini dapat teratasi. Perlu adanya regulasi yang jelas dan tegas juga merupakan salah satu pendorong terciptanya keharmonisan dan keteraturan, ini berarti Polri harus berpikir secara komprehensif atau menyeluruh, bagaimana masalah-masalah public tidak berkembang menjadi masalah Negara, aturan, mekanisme, pemberian reward and punishment yang sesuai, serta ketegasan dalam menegakan aturan menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan.
3.      Penanganan Premanisme dan solusinya secara analitis
Seseorang melakukan tindakan-tindakan premanisme selain dari factor pribadi juga karena adanya factor social, factor social inilah yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan pelanggaran hukum maupun terhadap aturan yang ada, factor social merupakan norma-norma maupun hukum yang berlaku dimasyarakat, namun seringkali norma-norma tersebut diabaikan atau dilanggar, sehingga penyimpangan yang terjadi dalam norma-norma dan hukum di masyarakat ini disebut Penyimpangan Sosial. Menurut James Vander Zanden, 1979; Perilaku menyimpang atau Deviance Behaviour adalah Perilkau yang dipandang sejumlah orang sebagai perbuatan tercela dan diluar batas toleransi, Secara sosiologis, perilaku menyimpang dapat diartikan sebagai setiap perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma dan hukum yang ada di dalam masyarakat. Perilaku seperti ini terjadi karena seseorang mengabaikan norma atau tidak mematuhi patokan baku dalam masyarakat sehingga sering dikaitkan dengan istilah-istilah negatif. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, ‘menyimpang’ bermakna tidak menurut jalan yang betul, menyalahi kebiasaan, aturan, hukum, dan sebagainya serta menyeleweng atau sesat. Menurut Lemert (1951); Penyimpangan dibagi menjadi dua bentuk;
1)      Penyimpangan Primer (Primary Deviation) yaitu Penyimpangan yang dilakukan seseorang akan tetapi si pelaku masih dapat diterima masyarakat. Ciri penyimpangan ini bersifat temporer atau sementara,tidak dilakukan secara berulang-ulang dan masih dapat ditolerir oleh masyarat seperti: menunggak iuran listrik, telepon, BTN, melanggar rambu-rambu lalu lintas, ngebut di jalanan dsb.
2)      Penyimpangan Sekunder (secondary deviation) yaitu Penyimpangan yang berupa perbuatan yang dilakukan seseorang yang secara umum dikenal sebagai perilaku menyimpang. Pelaku didominasi oleh tindakan menyimpang tersebut, karena merupakan tindakan pengulangan dari penyimpangan sebelumnya. Penyimpangan ini tidak bisa ditolerir oleh masyarakat, seperti : preman, pemabuk, pengguna obat-obatan terlarang, pemerkosa, pelacuran, pembunuh, perampok, penjudi.

Adapun factor-factor yang menyebabkan perilaku menyimpang menurut Casare Lombroso adalah;
1)   Biologis
Misalnya orang yang lahir sebagai pencopet atau pembangkang. Ia    membuat penjelasan mengenai “si penjahat yang sejak lahir”. Berdasarkan ciri-ciri tertentu orang bisa diidentifikasi menjadi penjahat atau tidak. Ciri-ciri fisik tersebut antara lain: bentuk muka, kedua alis yang menyambung menjadi satu dan sebagainya.
 2).  Psikologis
Menjelaskan sebab terjadinya penyimpangan ada kaitannya dengan kepribadian retak atau kepribadian yang memiliki kecenderungan untuk melakukan penyimpangan. Dapat juga karena pengalaman traumatis yang dialami seseorang.
 3).  Sosiologis
Menjelaskan sebab terjadinya perilaku menyimpang ada kaitannya dengan sosialisasi yang kurang tepat. Individu tidak dapat menyerap norma-norma kultural budayanya atau individu yang menyimpang harus belajar bagaimana melakukan penyimpangan.

Ada dua Faktor Penyebab timbunya Penyimpangan yaitu factor dari dalam (Intrinsik) dan factor dari luar (Ekstrinsik);
       1)   Faktor dari dalam (intrinsik)
Setiap orang mempunyai intelegensi yang berbeda-beda. Perbedaan intelegensi ini berpengaruh dalam daya serap terhadap norma-norma dan nilai-nilai sosial. Orang yang mempunyai intelegensi tinggi umumnya tidak kesulitan dalam bergaul, belajar, dan berinteraksi di masyarakat. Sebaliknya orang yang intelegensinya di bawah normal akan mengalami berbagai kesulitan dalam belajar  maupun menyesuaikan diri di masyarakat. Namun hal ini seringkali menjadi dilematis, seseorang yang memiliki tingkat intelegensi yang tinggi dapat melakukan suatu kejahatan yang lebih besar akibatnya bagi masyarakat, karena tingginya tingkat intelegensi tidak diimbangi dengan moral yang baik pula, sehingga menimbulkan penyimpangan.
2)   Faktor dari luar (ekstrinsik)
a). Peran keluarga
Keluarga sebagai unit terkecil dalam kehidupan sosial sangat besar peranannya dalam membentuk pertahanan seseorang terhadap serangan penyakit sosial sejak dini. Dalam sebuah keluarga yang selalu menerapkan kejujuran dan kedisiplinan menjadi panutan bagi seseorang dalam berperilaku dalam lingkungannya maupun tempatnya bekerja.
b) Peran masyarakat
Pola kehidupan masyarakat tertentu kadang tanpa disadari oleh para warganya ternyata menyimpang dari nilai dan norma sosial yang berlaku di masyarakat umum. Itulah yang disebut sebagai subkebudayaan menyimpang. Misalnya masyarakat yang sebagian besar warganya hidup dengan menggunakan caa-cara premanisme, maka anak-anak di dalamnya akan menganggap premanisme sebagai bagian dari kehidupannya. Demikian pula seseorang yang tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakat penjudi atau peminum minuman keras, maka akan membentuk sikap dan pola perilaku menyimpang.
c) Pergaulan
Pola tingkah laku seseorang sering kali dipengaruhi oleh pergaulan, Apabila teman bergaulnya baik, dia akan menerima konsep-konsep norma yang bersifat positif. Akan tetapi jika teman bergaulnya kurang baik, sering kali akan mengikuti konsep-konsep yang bersifat negatif. Misalnya di suatu instansi sebagian besar pegawainya sudah terbiasa memeras, tidak tepat waktu dan menerima uang suap sebagai uang pelicin untuk mengurus surat atau akte tertentu, maka orang yang bekerja ditempat itu akan merasa bahwa memeras dan menerima suap adalah suatu kewajaran, demikian pula halnya dengan lingkungan preman, mereka berpikir bahwa perbuatannya menunjukan eksistensi dirinya, mengambil paksa milik orang lain, mempunyai wilayah kekuasaan yang diakui, dsb.
d)  Media massa
Berbagai tayangan di televisi tentang gaya hidup bermewah-mewahan berfoya-foya, menggunakan narkoba, seks bebas, dsb, dapat mempengaruhi perkembangan perilaku individu.
Dengan demikian dalam penanganan terhadap premanisme juga membutuhkan peran serta dari stake holder yang terlibat dalam hal ini Pemerintah sebagai penentu kebijakan khususnya dalam mengeliminir hal-hal yang menjadi embrio serta pendorong kelahiran aksi premanisme seperti; Kemiskinan, kelangkaan kesempatan kerja, marginalisasi, dan kekuasaan yang cenderung korup adalah habitat yang subur bagi perkembangan premanisme di tanah air. Karena itu, agar dari waktu ke waktu tidak lahir preman-preman baru yang makin canggih, pemerintah wajib mengimbangi langkah polisi dengan aksi dan pendekatan sosial agar hal-hal yang menyuburkan tumbuhnya preman tidak terus berkembang. Ketika orang frustrasi karena tak mampu menghidupi keluarganya serta ketika pemerintah tidak lagi mampu menciptakan lapangan kerja yang memadai dan layak untuk tempat bergantung hidup kaum migran yang mengadu nasib mencari pekerjaan di kota, jangan kaget jika di saat yang bersaman lahir sejumlah aktivitas di sektor informal yang terkategori ilegal. Selain itu perilaku premanisme dan kejahatan jalanan merupakan problematika sosial yang berawal dari sikap mental masyarakat yang kurang siap menerima pekerjaan yang dianggap kurang bergengsi. dan penanganannya tidak cukup melalui proses hukum, tetapi harus melibatkan institusi yang berfungsi dalam pembinaan mental. Masyarakat juga tidak dapat mengambinghitamkan tingkat kesejahteraan atau peluang kerja yang dianggap sulit didapatkan sebagai faktor penyebab munculnya aksi premanisme dan kejahatan jalanan. Sebenarnya peluang kerja itu cukup banyak, tetapi kurang diminati karena dianggap kurang terhormat. Sehingga dalam hal ini Polri harus melibatkan institusi yang berwenang dalam pembinaan mental, seperti Dinas sosial, agar pelaku aksi premanisme dan kejahatan jalanan itu bersedia melakukan pekerjaan apa pun asalkan halal. Dinas sosial juga perlu menggandeng pihak lain untuk menyalurkan minat dan bakat yang dimiliki pelaku aksi premanisme dan kejahatan jalanan tersebut. Karena perilaku premanisme dan kejahatan jalanan dapat dianggap sebagai penyakit masyarakat yang berasal dari belum tertatanya pola pikir dan kesiapan mental dalam menghadapi problematika hidup.
BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN
A.    Kesimpulan
Fenomena meningkatnya premanisme sudah semakin mengkhawatirkan, dan sudah merupakan masalah public, karena hampir pada setiap sector kehidupan masyarakat dewasa ini dibayang-bayangi dengan tindakan-tindakan premanisme, bahkan kecenderungan masyarakat untuk ikut melakukan perbuatan premanisme sudah merupakan hal yang jamak, di jalan, di kantor, dalam lingkungan social dsb, hal ini perlu mendapat perhatian bersama, karena masalah premanisme merupakan masalah integral yang membutuhkan penanganan yang komprehensif dan efektif serta tepat sasaran. Perlu adanya kerjasama  dari setiap instansi yang bertanggung jawab, baik Pemerintah sebagai pembuat regulasi, pengentasan kemiskinan, ketersediaan lapangan kerja, peningkatan infrastruktur, peningkatan kesejahteraan masyarakat, ketersediaan pemukiman, maupun masalah-masalah keamanan dan ketertiban masyarakat.
Peran serta Polri sebagai Penegak Hukum dan Pelindung, Pengayom, serta Pelayan masyarakat menuntut penanganan Premanisme secara Proporsional dan professional, dengan melakukan tindakan-tindakan tegas terhadap para pelaku-pelaku premanisme dan langkah-langkah nyata untuk mengatasi premanisme ini sebagai masalah bersama dengan melakukan konsolidasi dan sebagai Consultative function untuk memberikan sumbang saran serta menelaah kebijakan-kebijakan public sehingga dapat lebih tepat sasaran, sehingga penanganan premanisme ini bukan seperti mencabut jamur di musim hujan,yang akan terus tumbuh dan semakin banyak jumlahnya. Khususnnya berkaitan dengan tindakan premanisme oleh kelompok, golongan, serta organisasi massa, merupakan factor korelatif kriminogen yang dapat mengakibatkan konflik horizontal antar suku dan golongan dan berpotensi memecah belah bangsa, harus segera di carikan formulanya agar tidak semakin berkembang. Demikian halnya untuk masalah premanisme terselubung yang akrab dengan perbuatan-perbuatan koruptif, perlu adanya kepastian dalam penegakan hukum, yang pada pelaksaannya membutuhkan kerjasama dari para catur wangsa penegak hukum di Indonesia yaitu Polisi, Jaksa, Hakim dan Penasehat hukum, sehingga tercapainya persamaan persepsi dari para penegak hukum, bahwa perbuatan-perbuatan yang cenderung koruptif ini dapat memupuk perbuatan-perbuatan premanisme menjadi semakin subur di masyarakat dan berpotensi menghancurkan sendi-sendi Negara.
B.     Saran
1.      Peran serta Polri dalam menangani maslah-masalah Premanisme tidak dapat dipandang hanya sebagai tugas Kepolisian saja, namun yang lebih penting disini adalah bagaimana cara mengeliminir embrio-embrio munculnya premanisme ini, meskipun banyak contoh di Negara-negara maju yang tingkat kesejahteraannya tinggi juga masih ada kelompok-kelompok premanisme ini bahkan semakin kuat, hal ini tidak lepas dari penyimpangan social, pengaruh globalisasi dan budaya Hedonisme, sehingga upaya-upaya Polri dalam menangani premanisme ini dengan melakukan operasi-operasi kepolisian terpadu bersama instansi-instansi terkait dapat dipilih sebagai salah satu jalan alternative dalam menekan  premanisme, sehingga tidak hanya sekedar melakukan operasi dan kemudian dilepas lagi ditengah-tengah masyarakat, melainkan perlu adanya pembinaan mental, spiritual oleh lembaga atau dinas sosial serta dengan menyediakan lapangan pekerjaan agar tidak kembali terjerumus dalam premanisme, kecuali dalam hal tindakan premanisme yang mengarah pada tindak pidana korupsi perlu adanya tindakan tegas dan hukuman yang berat bagi para pelaku agar menimbulkan efek jera.
2.      Peran serta anggota masyarakat juga tidak dapat diabaikan dalam membantu mencegah timulnya praktek-praktek premanisme, dengan melakukan control social tentunya, masyarakat dapat berperan aktif sebagai penjaga nilai-nilai norma yang berlaku di masyarakat, agar anggota masyarakatnya tidak terjerumus dalam kegiatan premanisme, selain itu peran keluarga juga mempunyai peran sentral, karena keluarga sebagai satuan terkecil dalam masyarakat, dan dari keluarga nilai-nilai social kemasyarakatan itu dibangun.

REKRUITMENT BINTARA POLRI DAN SINGKATNYA PENDIDIKAN DI SPN POLRI


I.         PENDAHULUAN
Latar belakang
Visi Polri adalah Terwujudnya Postur Polri yang mandiri, Profesional, bermoral dan modern sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat, serta penegak hukum yang terpercaya dalam memelihara kemanan dan ketertiban masyarakat. Merupakan hal yang tidak dapat terbantahkan lagi bahwa Pendidikan Polri menjadi salah satu bagian yang fundamental guna mewujudkan visi tersebut. Hal ini karena Pendidikan Polri adalah sebagai dasar untuk menanamkan pengetahuan, dogma maupun ajaran mengenai Polri itu sendiri. Namun singkatnya Pendidikan Polri pada level Bintara dan minimnya kompetensi menjadi bumerang bagi organisasi Polri. Banyaknya keluhan masyarakat terhadap standar Pelayanan Polri, maupun penegakan Hukum membuat masyarakat menjadi antipati terhadap Polri, ditambah lagi dengan banyaknya kasus Perampokan, Penipuan, narkoba, pembunuhan serta pelanggaran-pelanggaran lainnya yang melibatkan anggota Polri, sehingga patut dipertanyakan sejauh mana kepedulian Pimpinan Polri dalam mewujudkan personel Polri yang Profesional, bermoral maupun modern.
Berdasarkan data yang dirilis Mabes Polri, sepanjang 2010 Polri telah memecat 294 orang anggotanya, dan lebih dari 3000 anggota Polri yang melakukan pelanggaran disiplin telah ditindak, sedangkan data pada tahun sebelumnya sepanjang 2009 sebanyak 279 anggota Polri dipecat dan terjadi pelanggaran disiplin sebesar 5464, jumlah tersebut bila di rata-ratakan dalam setiap dua hari ada satu anggota Polri yang diberhentikan secara tidak hormat dan dalam satu hari ada lebih dari sepuluh orang anggota Polri yang melakukan pelanggaran disiplin. Sungguh kenyataan yang tragis dan kontradiktif, ditengah tuntutan masyarakat yang menghendaki tegaknya Hukum dan Keadilan, namun justru penegak hukum sendiri yang  melakukan pelanggaran hukum. Pertanyaan yang timbul kemudian adalah mengapa demikian? Dan apakah penyebabnya ?.

II.       PEMBAHASAN
Menjadi seorang anggota Polri bukan berarti hanya sekedar mencari pekerjaan setelah lulus dari sekolah ditengah ketatnya persaingan dunia kerja, atau ada istilah daripada menjadi pengangguran, namun menjadi seorang anggota Polri melalui proses yang panjang, selain proses seleksi yang sangat ketat, fisik yang sehat, serta psikologi yang baik, juga harus ditunjang dengan mental dan kepribadian yang matang, matang disini maksudnya, pada saat seseorang mendaftarkan diri sebagai anggota Kepolisian maka saat itu juga orang tersebut harus men’switch’ mentalnya, bahwa bila lulus pada tahapan proses seleksi berarti orang tersebut harus siap untuk menjadi abdi Negara, dan men’dharma’kan hidupnya demi masyarakat, bangsa dan Negara.
Singkatnya Pendidikan Polri di Sekolah Polisi Negara (SPN) yang hanya 5 bulan banyak menjadi pertanyaan dan merupakan masalah yang juga masih menjadi pertentangan, apakah pendidikan selama 5 bulan ini efektif untuk merubah cara pandang dan kepribadian seseorang dari pelajar atau mahasiswa menjadi seorang Bhayangkara abdi negara?, atau hanya sekedar mengganti seragam putih abu-abu yang dahulu dikenakan menjadi seragam Polri ?, Apakah dasar ketrampilan sebagai anggota Polri yang diberikan sudah cukup dapat dikuasai?, seberapa siapkah mereka diterjunkan dalam dunia penegakan hukum? dan bagaimana mereka mampu menguasai diri dari berbagai pengaruh buruk lingkungan dan godaan materi?. Beberapa pihak yang setuju mengemukakan pendapatnya bahwa hal ini demi penghematan uang Negara, dan percepatan pertumbuhan jumlah anggota Polri sehingga mencapai jumlah yang ideal dengan jumlah penduduk Indonesia, mengingat perbandingan saat ini yang masih jauh dari ideal yaitu 1:950 penduduk, sedangkan idealnya jumlah Polisi paling sedikit 1:750 penduduk, namun percepatan tersebut hendaknya jangan mengabaikan kualitas yang ada, Bibit unggul yang didapat melalui proses seleksi semestinya dapat menghasilkan anggota Polri yang unggul.
 Besarnya biaya yang dialokasikan Negara untuk Polri dalam pembentukan Sumber Daya manusia tidak boleh sia-sia, karena setiap rupiah yang digunakan berasal dari pajak yang dibayarkan rakyat selain alokasi hibah atau bantuan alat peraga maupun teknologi Kepolisian yang merupakan donasi dari Negara-negara sahabat, sehingga guna mewujudkan Visi Polri tersebut pada Pendidikan Polri perlunya diterapkan prinsip-prinsip Profesionalitas, Humanisme, Akuntabilitas, Transparansi, Efisiensi dan Efektifitas, menjunjung Supremasi Hukum, dan dapat bermitra dengan masyarakat., bentuk Profesionalitas disini hendaknya Pendidikan Polri berada dalam satu system sebagai bagian integral dari pengembangan Sumber Daya Manusia Polri, sehingga dapat terkonsep dengan jelas mulai sejak proses recruitment dan setiap kurikulumnya dapat teranalisa dan dievaluasi secara berkala, dengan melibatkan Stake Holder, maupun civitas akademika, agar mendapatkan pola pendidikan dan pengajaran yang ideal, serta memiliki kompetensi. Humanisme dimaknai menempatkan seorang siswa Polri dalam konteksnya yang tidak melanggar HAM, serta memberikan pembinaan rohani sebagai benteng dari segala pengaruh buruk, sehingga nantinya Siswa tersebut dapat menjadi anggota Polri yang bermoral dan menjunjung tinggi HAM dalam pelaksanaan tugasnya, menghargai perbedaan serta terjaga dari pengaruh buruk lingkungan. Kemudian Akuntabilitas disini sebagai bentuk pertanggung jawaban dari pengampu bidang pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Polri maupun Pimpinan Polri, bahwa siswa yang mengikuti pendidikan di SPN Polri merupakan hasil pentahapan proses seleksi yang benar dan tidak merupakan hasil KKN, karena mustahil mewujudkan profil Polri yang baik bila jalan yang digunakan dengan cara-cara yang tidak benar. Selain Akuntabel proses rekrutmen juga harus Transparan agar masyarakat juga bisa memberi penilaian, bahwa siswa yang terpilih adalah yang terbaik dan memenuhi standar yang ditentukan. Efektifitas dan efisiensi sangat penting sesuai dengan biaya yang telah dialokasikan, agar lebih tepat sasaran. Namun semua itu belum cukup tanpa adanya suatu kesadaran diri untuk menjunjung tinggi supremasi hukum, kesadaran bahwa menjadi seorang penegak hukum harus patuh hukum sehingga dapat menjadi teladan bagi masyarakat, kesadaran itu tidak dapat tumbuh dengan sendirinya, melainkan harus ditanamkan sejak dini mulai pada lingkungan Pendidikan Polri dan membudayakan secara terus menerus agar menjadi ‘Habit’ atau kebiasaan, akhirnya bila semua hal tersebut dapat disinergikan, menciptakan sosok anggota Polri yang dicintai serta dihormati masyarakat bukanlah hal yang mustahil.

III.      PENUTUP
Kesimpulan
                 Dari pembahasan singkat diatas dapat disimpulkan beberapa hal, bahwa Proses Rekruitment dan Pendidikan Polri harus menerapkan prinsip-prinsip Profesionalitas, Humanisme, Akuntabilitas, Transparansi, Efektif dan Efisien, menjunjung tinggi supremasi hukum,  guna mewujudkan sosok personil Polri yang dicintai masyarakat, sehingga berhasil atau tidaknya tidak diukur dari berapa lama Pendidikan itu berjalan, namun apakah proses recruitment dan program pendidikan yang dijalankan telah memenuhi prinsip-prinsip tersebut, mengingat bintara Polri sebagai ujung tombak yang bersentuhan langsung dengan masyarakat dan penegakan hukum, sehingga perlunya dibentuk pola pendidikan bukan berdasarkan pertimbangan jangka waktu dan jumlah siswa yang dididik, akan tetapi lebih berorientasi pada visi Polri yakni terwujudnya Postur Polri yang mandiri, Profesional, bermoral dan modern sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat, serta penegak hukum yang terpercaya dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.

Sistem Kepolisian Negara Republik Indonesia


I.    PENDAHULUAN
            Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Pasca reformasi 1998 dan ditandai dengan keluarnya Tap MPR No.VI tahun 2000 dan Tap MPR No VII tahun 2000 kedudukan Polri berpisah dengan ABRI (TNI).Ketetapan ini kemudian diikuti dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan kedudukan Polri langsung berada di bawah Presiden RI.Dengan sifatnya sebagai Polisi Nasional, Polri lebih cenderung untuk menganut paradigma Integrated System of policing (Sistem Kepolisian Terpadu), system tersebut telah menjadikan posisi Kepolisian menjadi kekuatan yang bersifat Nasional sebagai intstitusi namun juga berkapasitas fragmented ( kedaerahan). Hal ini terlihat pada beberapa fungsi dan peranan Polri seperti penerimaan anggota Bintara Polri yang diselenggarakan oleh masing-masing Polda di Indonesia, termasuk kebijakan ”Local Job For Local Boy”.
        
         Polri ditingkat pusat dikenal dengan sebutan Mabes Polri,selain itu untuk mewakili keberadaan Polri di tingkat daerah,maka tiap-tiap Provinsi didirikan Kepolisian Daerah dengan tetap menginduk kepada Mabes Polri.Setiap kebijakan operasional yang digulirkan oleh Mabes Polri adalah juga berlaku bagi seluruh Kepolisian Daerah di negara Republik Indonesia.Sehingga pelaksanaan kegiatan Kepolisian Daerah mengacu pada hal tersebut.Hubungan antar Kepolisian Daerah pun bersifat sangat fleksibel, artinya tiap-tiap Kepolisian Daerah dapat melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah dalam melakukan suatu langkah hukum atau penegakan hukum yang terjadi di daerahnya masing-masing, seperti melakukan Operasi Pembalakan liar, Operasi Penyakit masyarakat secara terpadu dsb, demikian halnya bila menghadapi kejahatan lintas Provinsi, Polda dapat bekerjasama dengan Mabes Polri untuk melakukan langkah-langkah kordinasi maupun antisipasi, selain itu untuk beberapa kasus – kasus besar Mabes Polri dapat melakukan langkah-langkah hukum maupun upaya Penyidikan di seluruh wilayah Polda di Indonesia.
         Polri dipimpin oleh seorang Kapolri yang bertanggung jawab kepada Presiden RI karena Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden serta atas persetujuan DPR sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku,kemudian tiap-tiap Kepolisian Daerah dipimpin oleh seorang Kapolda yang bertanggung jawab kepada Kapolri.Salah satu badan pengawas yang dibentuk oleh negara terkait pengawasan kepada Polri adalah Komisi Kepolisian Nasional (KOMPOLNAS).
Tujuan dibentuknya Kompolnas adalah untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan Polri, hal tersebut memungkinkan pada sistem yang terintergrasi secara Nasional, negara khususnya pemerintah pusat mempunyai kekuasaan yang cukup besar untuk ikut mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Polri sehingga di khawatirkan Polri dapat menjadi kepentingan Politik dari kelompok-kelompok tertentu atau sebagai alat kekuasaan, selain itu Kompolnas juga melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas Pokok Polri seperti yang tercantum dalam Pasal 13 Undang-Undang No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

II.   KERANGKA BERPIKIR
Sistem Kepolisian tidak dapat dilepaskan dari dasar Konstitusi yang di gunakan oleh Negara Republik Indonesia yaitu UUD 1945 yang saat ini sudah mengalami amandemen ke 4, UUD 1945 mengatur tentang system Pemerintahan Negara dimana Indonesia adalah merupakan negara Hukum, selain itu dalam UU no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia juga mengatur mengenai bentuk Kepolisian Negara.
Kemudian dalam kaitannya melaksanakan amanat Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menjalankan fungsinya di daerah, Kepolisian juga di pengaruhi oleh UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Karena Otonomi daerah mempunyai anggaran khusus yang dialokasikan sebagai pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban masyarakat. Sehingga dengan demikian untuk mempelajari Polri sebagai satu system tidak dapat dipisahkan dengan aturan-aturan yang ikut mempengaruhinya.
Pemahaman Konsep Sistem, adalah suatu kesatuan himpunan yang utuh menyeluruh dengan bagian-bagian yang saling berkaitan, saling ketergantungan, saling bekerjasama berdasarkan aturan tertentu, untuk mencapai tujuan dari system. ( Prof. Djoko Sutono, C.W. Churchman, Matheus, Lempiro). Di dunia ada 3 ( tiga ) kelompok sistem yaitu:
  1. Fragmented System of Policing ( Sistem kepolisian terpisah atau berdiri sendiri) :  Disebut juga system Desentralisasi yang ekstrim atau tanpa system, dimana adanya kekhawatiran terhadap penyalahgunaan dari suatu organisasi Polisi yang otonom dan dilakukan pembatasan kewenangan Polisi. Sistem ini dianut oleh Negara-negara yaitu Belgia, Kanada, Belanda, Switzerland, Amerika Serikat.
  1. Centralized System of Policing ( Sistem Kepolisian Terpusat) .Berada langsung dibawah kendali pemerintah. Negara-negara yang menganut system ini adalah Perancis, Italia, Finlandia, Israel, Thailand, Taiwan, Irlandia, Denmark, Swedia.
  1. Integrated System of Policing ( Sistem Kepolisian Terpadu),Disebut juga system desentralisasi moderat atau kombinasi atau kompromi, merupakan system control yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah agar terhindar dari penyalahgunaan organisasi Polisi Nasional serta efektif, efisien, dan seragam dalam pelayanan. Negara-negara yang menganut hal ini adalah Jepang, Australia, Brasilia, Inggris dan Indonesia
III. PEMBAHASAN
Negara Republik Indonesia adalah sebuah Negara besar yang berlandaskan hukum, hal ini berarti bahwa Hukum di Indonesia di junjung Tinggi, sesuai dengan pasal  1 ayat 3 UUD 1945 “Bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum, dan Pasal 27 UUD 1945 yang sudah di amandemen; “Bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung  hukum dan Pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Sebagai Basic Law (hukum dasar) UUD 1945 telah mengatur kedudukan warga Negara dan pemerintahan itu sendiri.
Sesuai dengan amanat undang-undang Dasar 1945 maka dibentuklah aparat Negara penegak hukum yaitu Polri yang didasarkan UU no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dalam pasal 13 berbunyi; “dalam mengemban Tugasnya Kepolisian mempunyai Tugas Pokok :
a.  Memelihara Keamanan dan ketertiban masyarakat,
b.  Menegakan hukum,
c.  Melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat
Dan dalam pelaksanaan Tugas Pokok tersebut Polri mempunyai wadah Organisasi yang di sebut Kepolisian Negara Republik Indonesia yang merupakan satu kesatuan dan berada di bawah Presiden, sehingga Kapolri bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden.
Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menganut sistem Kepolisian yang tersentralisasi mutlak/total, sejak kira-kira 20 tahun yang lalu Polri telah menetapkan bahwa kesatuan Polri tingkat Polres sebagai Kesatuan Operasional dasar, dimana kesatuan tersebut merupakan kesatuan yang memiliki hubungan paling dekat dengan masyarakat, dan melaksanakan fungsi kepolisian secara penuh serta bertangung jawab langsung atas semua pelaksanaan tugas pokok Kepolisian di tingkatnya tersebut. Sedangkan Polsek merupakan Kesatuan terkecil dalam instansi Polri yang memiliki kedudukan setara dengan Kecamatan / Desa, dan bertugas untuk mengemban seluruh tugas pokok Kepolisian sampai ke unit terkecil pemerintahan yaitu desa, terutama dalam pelaksanaan tugas pokok Polri sebagai pelindung dan pelayan masyarakat. Desentralisasi dalam bidang Administratif juga akan memberikan lebih banyak otoritas kepada Polres.
Dalam melaksanakan Tugas Pokoknya Polri pun sudah harus bisa untuk memberikan sedikit dari sekian banyak kewenangannya kepada para penjual jasa keamanan (swasta) seperti: jasa pengamanan dalam pengiriman uang, security/satpam, dan lain-lain. Untuk turut serta dalam menjaga keamanan di lingkup wilayah hukum kepolisian itu berada baik itu berupa pemukiman warga, pabrik/perusahaan, dan lain sebagainya. Polda/Polres pun dapat melakukan operasi Kepolisian khususnya di wilayah Polda/Polres itu berada dan diselenggarakan sesuai dengan karakteristik wilayah,dan masyarakatnya, jadi dalam hal ini dapat dikatakan dalam suatu institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat ditemukan keanekaragaman dalam pelaksanaan Operasi Kepolisian khusus yang dapat diidentifikasi mulai dari jenis dan sifat operasi Kepolisian Khusus tersebut, dan tentunya hal ini terjadi karena adanya penyesuaian terhadap karakteristik wilayah dan masyarakat dimana Polda/Polres/Polsek tersebut berada.
Dalam pelaksanaan tugas Kepolisiannya sehari-hari, Kepolisian tingkat Polda/Polres/Polsek dapat melakukan kerjasama dengan pihak pemerintah daerah setempat (baik tingkat provinsi,Kabupaten/Kota,Kecamatan, hingga tingkat Desa), hal ini tercermin pada saat periode pelaksanaan pemilihan umum daerah pasca reformasi dimana sejak masa pentahapan Pemilihan Umum daerah tersebut diproses sudah harus membutuhkan perlibatan kekuatan dalam rangka menciptakan suasana keamanan, maka polda atau polres dapat membantu secara kesadaran/inisiatif ataupun meminta back-up bantuan dari kesatuan yang ada di atasnya dalam rangka terciptanya kondisi keamanan yang stabil dan menjamin agar proses berjalannya Pemilu Daerah tersebut berjalan dengan lancar.
Untuk mendekatkan penyelenggaraan manajemen kepolisian kepada masyarakat yang dilayani perlunya Desentralisasi, Desentraliasi polisi ini dimaksudkan untuk mengembangkan satuan organisasi terdepan (Polres) menjadi lebih otonom dalam kerangka sistem kepolisian nasional dan sejalan pula dengan kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan prinsip ini, pendekatan penyelesaian perkara (ringan) dapat dilakukan secara informal dengan pemberdayaan potensi local, sehingga polisi diharapkan memfokuskan perhatiannya pada kejahatan-kejahatan berat yang meresahkan dan menarik perhatian publik. Bagi polisi, masyarakat bukan hanya kepada siapa mereka memberikan pelayanan jasa kepolisian tetapi juga kepada siapa mereka harus bertanggungjawab. Pertanggung ­jawaban hukum khususnya atas penggunaan upaya paksa oleh individu polisi maupun pertanggungjawaban organisatorik kepolisian, tidak meniadakan pertanggungjawaban publik (public accountability) kepolisian. Akuntabilitas publik kepolisian menjadi penting mengingat pekerjaan polisi syarat dengan kewenangan/diskresi, bahkan menyangkut kehidupan (nyawa) seseorang dan hal itu sukar dikontrol, Konsekwensinya, akses publik harus dibuka bagi pengawasan terhadap tugas-tugas kepolisian, baik terhadap segala tindakan kepolisian maupun perumusan kebijakan dan manajemen kepolisian. Sikap demikian dibutuhkan bukan saja oleh masyarakat dalam kapasitasnya sebagai obyek tindakan polisi, tetapi karena kepolisian harus mernbangun kemitraan dengan masyarakat, dari mana mereka membutuhkan dukungan.  Di sini pekerjaan polisi memerlukan pengawasan yang ekstra dibanding dengan institusi lain, karena pada institusi ini melekat selain kewenangan tersebut di atas juga budaya organisasi yang didasarkan pada solidaritas (solidarity) dan kerahasiaan (secrecy).
Budaya solidaritas dapat mendorong  kearah semangat melindungi teman sesama korps meskipun mereka itu salah. Sedangkan implikasi negatif dari kerahasiaan, menyebabkan polisi suka menyembunyikan kesalahan yang diketahui telah dilakukan oleh koleganya (keep silent). Kedua budaya ini bisa menjadi pengahambat utama jalannya pengawasan internal secara efektif. Sering kita dengar melalui mas media sidang Dewan Kode Etik Kepolisian hanya menjatuhkan sanksi yang tidak menyelesaikan persoalan fundamental. Disini perlunya suatu badan independen untuk mengawasi pelaksanaan tugas kepolisian dan mencari solusi bagi masalah structural yang dihadapi polisi. Sejalan dengan pemikiran desentralisasi satuan-satuan wilayah kepolisian yang  disinggung di atas, hubungan kerjasama antara Polri dengan pemerintah daerah perlu dikembangkan sedemikianrupa sehingga pemerintah daerah bisa mendayagunakan PoIri dalam menjalankan perannya untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum (lokal) termasuk mencegah kejahatan. Sementara itu kebutuhan anggaran PoIri bisa didukung dengan anggaran pendapatan daerah dibawah pengawasan pemerintah daerah. Sinergi dalam pengelolaan keamanan dan ketertiban umum menjadi sangat penting mengingat misi kepolisian tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya perwujudan kesejahteraan masyarakat. Ini berarti bahwa keberhasilan PoIri dalam menjalankan misinya menjadi tidak berarti jika tidak memberi kontribusi bagi upaya peningkatan kesejehteraan menuju masyarakat madani (civil society).
Melihat kedudukan dan tugas Kepolisian Negara Republiki Indonesia dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Polri cenderung menerapkan paradigma Integrated System of Policing (Sistem Kepolisian Terpadu), hal tersebut di tegaskan dalam Susunan dan kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diatur dalam Pasal 6 UU kepolisian bahwa Dalam rangka pelaksanaan peran dan fungsi kepolisian, wilayah negara Republik Indonesia dibagi dalam daerah hukum menurut kepentingan pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan setiap daerah tersebut memliki kewenanganannya sendiri dalam menjalankan tugas-tugas operasional Kepolisian.

Selain itu sejak berlakukanya Undang-Undang no 32 tahun 2004 yang mengatur mengenai Otonomi Pemerintahan daerah disebutkan bahwa sesuai Pasal 13 huruf c, Pemerintah Daerah mempunyai wewenang dalam menyelenggarakan Ketertiban dan ketentraman Masyarakat, hal tersebut sejalan dengan Tugas Pokok Polri, sehingga dalam pelaksanaannya harus terintegral dan ada koordinasi yang baik antar setiap Instansi Polri maupun Pemerintah Daerah, Hal inilah yang menjadikan Kepolisian di Daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda antar satu dengan yang lainnya.
Bahkan pada daerah-daerah tertentu yang memiliki Sumber Daya besar dan menunjang penduduk di daerah tersebut, ada kebijakan untuk mengalokasikan tunjangan kepada Anggota Polri yang bertugas di daerah tersebut, sebagai contoh pada Propinsi Kalimantan Timur, selain gaji resmi yang di berikan dari Negara ada tunjangan khusus yang didapatkan oleh seluruh anggota Polri di wilayah Kalimantan Timur, hal tersebut merupakan hal yang positif dalam upaya membangun kerjasama dan koordinasi yang baik antar Instansi, namun yang harus di perhatikan disini adalah, hendaknya pemberian Insetif atau tunjangan tersebut tidak menjadikan anggota Polri di wilayah tersebut menjadi abai terhadap pelanggaran pidana yang terjadi walaupun hal tersebut dilakukan oleh birokrasi Pemerintah Daerah.
           
Pada system paradigma Integrated System of Policing (Sistem Kepolisian Terpadu) yang di gunakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan;

A.   Kelebihan
1)    Birokrasi nya relatif tidak panjang karena adanya tanggung jawab dari Pemerintah Daerah.
Hal ini merupakan kombinasi antara Sistem Kepolisian Terpisah (Fragmented System of Policing)  dan Sistem Kepolisian Terpusat (Centralized System of  Policing), yaitu dimana suatu lembaga kepolisian di suatu daerah tertentu selain mendapat sokongan dari pemerintah   daerah   setempat   terkait   dengan   penyelenggaraan   kegiatan kepolisian,  termasuk  dalam  hal   dukungan  anggarannya,  juga  mendapat sokongan   dari   pemerintah   pusat   untuk   kegiatan- kegiatan   kepolisian tertentu.
2)    Kecendrungan terhadap standarisasi profesionalisme ,efisiensi ,efektif baik dalam bidang administrasi maupun operasional
Hal   ini   dimungkinkan   terjadi  dalam Sistem Kepolisian Terpadu (Integrated System of Policing) karena setiap lembaga kepolisian yang ada di setiap daerah berada dalam satu struktur lembaga kepolisian nasional, sebagaimana di Jepang yaitu di dalam wadah NPA (National Police Agency), artinya suatu standarisasi profesionalisme kepolisian   dapat   ditentukan   karena   adanya   satu   peraturan   perundang-undangan yang sama yang mengatur lembaga kepolisian secara nasional.
3)    Pengawasan dapat dilakukan secara Nasional
Mengingat terdapat keterlibatan pemerintah pusat di dalam sistem kepolisian dengan paradigma  tersebut.  Hal   ini  dikarenakan  dalam  sistem   kepolisian  yang terpadu,   pemisahan   hanya   terjadi   dalam   hal-hal   yang   terkait   dengan fungsionalisasi   operasional   kepolisian,   namun   secara   struktural   tetap berada   dalam   satu   wadah   lembaga   kepolisian   nasional,   sehingga memungkinkan terjadinya pengawasan oleh pemerintah pusat  disamping oleh pemerintah daerah setempat.
4)    Lebih mudah koordinasi tiap-tiap wilayah karena adanya komando atas.
Hal  ini  dikarenakan  lembaga kepolisian  yang  berada   di   daerah- daerah   masih  berada   di  bawah  satu komando   lembaga   kepolisian  nasional   yang  berada   di  pusat,  sehingga secara   berjenjang  terdapat  sistem  komando  yang  berlapis   dari  struktur terbawah hingga teratas.
B.   Kelemahan
1)    Penegakan hukum terpisah atau berdiri sendiri artinya tidak bisa memasuki wilayah hukum daerah lain dalam menegakkan hukum.
Hal  ini  dikarenakan  dalam  hal  pelaksanaan  penegakan  hukum telah   ditentukan   berdasarkan   peraturan   perundang-undangan   bahwa lembaga kepolisian lokal di suatu daerah hanya dapat  menangani kasus-kasus kejahatan yang terjadi di daerahnya, sebagimana yang dilaksanakan di Jepang, suatu kesatuan setingkat Polres di Jepang, yaitu Police Station hanya dapat  melakukan penegakan hukum di  daerahnya saja  sedangkan jika terjadi suatu kasus kajahatan yang melibatkan lebih dari satu daerah maka penanganannya dilaksanakan oleh satuan kepolisian setingkat Polda yaitu Perfektur, demikian pula jika terjadi kasus transnational crime maka lembaga kepolisian pusat yang akan menanganinya. Jadi disamping hal ini merupakan   suatu   kelemahan,   namun   juga   terdapat   kelebihan   karena adanya pembagian wewenang yang jelas  di antara setiap jenjang struktur lembaga kepolisian yang ada.
2)    Kewenangan terbatas hanya sebatas daerah dimana Polisi berada atau bertugas.
Maka  akan  terjadi hambatan   penanganan   suatu   kasus   kejahatan   manakala   terjadi   kasus kejahatan  yang  melibatkan  lebih  dari   satu  yurisdiksi  kepolisian  lokal. Dalam   hal   ini   penanganan   kasus   tidak   bisa   dilakukan   secara   cepat sebagaimana   yang  terjadi   di   Indonesia  dimana   suatu   satuan   setingkat Polres dapat saja melakukan pengembangan suatu kasus kejahatan sampai ke luar  wilayah hukum Polres  tersebut memasuki wilayah hukum Polres lain selama masih terdapat kaitan peristiwa atau pembuktian dalam kasus tersebut.
            Mengapa kedudukan Polri berada di bawah Presiden ? semenjak 1 Juli 1946, Polri merupakan organisasi yang membawah kepada  Perdana Menteri dan Presiden. Demi integrasi ABRI dengan dibentuknya Departemen Pertahanan dan Keamanan dan Panglima ABRI tahun 1967, maka pada saat itu pertama kali Polri membawah kepada Menhankam/Pangab. Seiring dengan perjalan demokrasi di Indonesia kemudian dikoordinasikan oleh Menkopolkam (sekarang Menko Polhukam) khususnya untuk menyerasikan kebijakan dan pelaksanaan dengan instansi terkait. Setelah reformasi, dengan undang-undang no. 2 tahun 2002, Presiden dalam membawahi Polri dibantu oleh suatu Komisi Kepolisian Nasional dengan ketua Menkopolhukkam, Wakil ketua Mendagri dan anggota Menteri Hukum dan HAM. Disamping ketiga pejabat ex officio itu keanggotaan Kompolnas juga terdiri atas 3 orang tokoh masyarakat dan 3 orang pakar kepolisian.
Berkaca kepada kelebihan serta kelemahan yang ditulis di sebelumnya sistem kepolisian tersebut adalah sistem yang masih cocok diberlakukan di Indonesia, karena kepolisian lokal Indonesia (Polda) belum dapat melepaskan unsur-unsur unik dari kebudayaan  daerah tempat Polda itu berasal, dengan kata lain unsur etnik melekat pada pelaksanaan sistem kepolisian di daerah. Namun dengan demikian bukan berarti kepolisian di daerah sudah mampu melaksanakan sistem birokrasinya sendiri atau otonom penuh karena kepolisian di daerah masih memerlukan pengawasan serta back up secara kuntinuitas apabila diperlukan dalam penanganan permasalahan tertentu di masing-masing Polda.
Secara praktis pelaksanaan perpolisian di daerah sangat tidak dapat dipisahkan dengan dengan sistem pemerintahan di daerah walaupun tidak ada ketergantungan dengan Pemda setempat, sifatnya hanya saling melengkapi. Hal ini dikarenakan pemerintahan di daerah tidak dapat berjalan dengan baik tanpa dukungan keamanan yang kondusif oleh pengemban fungsi itu yaitu Kepolisian, sedangkan kepolisian juga tidak dapat berjalan dalam harkamtibmas, penegakan hukum serta dalam memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dengan baik, tanpa pemerintah daerah karena kontrol sosial secara dominan masih berfokus pada tugas pemerintah daerah dalam mengembangkan serta pembinaannya.
Sebagai contoh dalam penerapan Polmas, mabes Polri hanya menyampaikan program dan aturan main secara global, sedangkan pelaksanaannya sendiri tergantung bagaimana Kepolisian di daerah dalam mengembangkan dengan melihat potensi wilayah dan masyarakat masing-masing. Walaupun terkesan dalam pembentukannya terlihat tergesa-gesa dimana Polri tidak melibatkan institusi atau pihak-pihak terkait dalam perumusannya, namun kebijakan ini saat diberlakukan di kewilayahan tetap harus melibatkan pemerintah daerah dari tingkat Propinsi sampai kepada Kecamatan. Dengan penggelaran sampai ke Kecamatan yang diemban oleh Polsek. Polmas sedikit demi sedikit merasuk dalam sendi-sendi kemasyarakatan sehingga goal yang diharapkan kehadiran Polisi di tengah-tengah masyarakat dirasakan kehadirannya dan diharapkan menjadi Polisi yang dicintai oleh masyarakatnya. Dan kini Polmas tetap menjadi program unggulan Polri dalam mendukung visi dan misi Polri ke depan.
Kita melihat struktur organisasi Polri secara jelas bahwa sistem koordinsi dari struktur Kepolisian pada tingkat Mabes sampai kepada Polda, di sini terlihat bahwa Polda yang dipimpin oleh Kapolda memiliki garis Komando yang langsung kepada Kapolri, jadi jelas hal ini menerangkan bahwa walaupun pada jenjang kepangkatan masih rendah dibanding pejabat Mabes Polri yang lain seperti Kepala-kepala Badan, namun secara struktural sifatnya berkoordinasi sedangkan kepada Kalpolri merupakan pertanggung jawaban secara langsung. Hal ini menunjukan  bahwa walaupun terkesan terpusat secara kesisteman namun Polda memiliki kewenangan-kewenangan tertentu dalam melaksanakan kebijakan Polri namun hal tersebut tetap harus dipertanggungjawabkan kepada Kapolri.
Namun hal ini menyebabkan bahwa perlunya koordinasi antar Polda dalam menangani kasus-kasus antar wilayah dan pulau, dimana walaupun kepolisian nasional tidak secara otomatis dapat serta merta menangkap seorang yang diduga pelaku tindak pidana pada wilayah Polda lain, diperlukan adanya koordinasi dengan melaporkan adanya kegiatan upaya paksa oleh anggota Polda lain serta mengikutsertakannya sebagai upaya legitimasi hukum yang dijalankan. Hal inipun bukan hanya berlaku di tingkat antar Polda tetapi juga antar Polres pada satu Polda dan antar Polsek pada satu Polres. Birokrasi ini terlihat menyulitkan karena pada beberapa kasus dapat terjadi perselisihan antar penegak hukum yang berlainan wilayah hukum bila tidak terjadi koordinasi yang baik. Tetapi apabila kita melihat sisi positifnya adalah bahwa anggota Polri setempatlah yang mengerti situasi dan kondisi yang ada pada wilayah tersebut sehingga mengapa perlu dilaporkan, dikoordinasikan serta diikutsertakannya anggota setempat.
Jikalau melihat contoh di atas sangatlah penting adanya keterpaduan yang secara langsung oleh Mabes Polri untuk melaksanakan pengawasan secara berkesinambungan demi menjaga eksistensi daripada Kepolisian Nasional, dengan 31 Polda tergelar dari 33 Propinsi yang ada di Indonesia, yang kemungkinan dalam waktu dekat akan bertanbah sesuai jumlah Propinsi maupun kebutuhan bangsa dan negara dalam upaya pemeliharaan Kamtibmas, penegakan hukum maupun perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat seluruh Indonesia.
   
    Dengan sangat luasnya kewenangan yang diamanatkan undang-undang kepada Polri menuntut adanya tanggung jawab yang besar pula dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peta di atas menggambarkan Nusantara Indonesia yang dipersatukan bukan karena hanya ”Bhineka Tunggal Ika” dimana mengakui adanya persatruan dan kesatuan di dalam perbedaan, namun juga kehadiran Polisi Negara yang menjadi alat pemersatu Bangsa Indonesia..
Pada pembahasan selanjutnya akan kita bahas mengenai kendala-kendala Polri di masa kini dalam mengembangkan dirinya dan  sebagai Organisasi yang menjalankan  sistem keterpaduan. Adapun hal-hal tersebut adalah sebagai berikut :
a.    Pembenahan sumber daya manusia Polri
Tidak dapat dipungkiri kemajuan suatu organisasi sangat bergantung dari sumber daya manusia yang ada di dalamnya. Harus diakui bahwa sumber daya Polri yang ada saat ini sangat jauh dari kata sempurna dan hal itu sering nampak pada saat anggota Polri menghadapi masyarakat baik dalam pelayanan Polri maupun dalam mengambil langkah represif dalam menegakan hukum, hal ini dapat dipengaruhi seberapa kedalaman serta kearifan moral anggota tersebut, dan hal ini termasuk dalam kualitas sumber daya manusia Polri. Oleh karena itu Polri kini berupaya keras dalam memperbaiki sistem penerimaan / rekruitment anggota Polri yang diharapkan akan memperbaiki kinerja Polri di masa akan datang, sebagai contoh dengan memperketat kualitas penerimaan seperti pelaksanaan tes yang diawasi oleh  kalangan masyarakat seperti LSM, maupun tokoh masyarakat diharapkan agar pada saat nanti juga akan mempengaruhi kinerja Polisi yang bersih di masa datang, untuk menjadi agen-agen perubahan Polri. Dalam hal ini rekruitmen atau penerimaan Polri dilaksanakan  oleh masing-masing Polda dimana hal ini untuk memeperbesar kapasitas Polda dalam mencari bibit muda Polri yang mengenal sifat dan karaktristik kewilayahan masing-masing, hal ini sering dikenal sebagai ”local boy for local job”.
b.    Pembenahan ’cultursal set’ Polri
Sistem komando yang bersifat top down mengakibatkan seringnya terjadi penyalahgunaan wewenang oleh Pimpinan Polri yang diturunkan secara berjenjang sampai ke tingkat bawah atau anggota pelaksana  di lapangan. Bukan berarti sistem komando itu salah namun perlu adanya upaya pembenahan secara komprehensif atau menyeluruh dalam tubuh Polri. Walaupun secara regulasi telah diatur secara jelas dalam Kode etik Profesi Polri, serta akibat-akibat hukum yang akan diterima apabila melakukan suatu pelaggaran hukum, tetapi hal ini tidak terlalu efektif dijalankan. Sehingga sangat mungkin terjadi secara berjenjang penyalahgunaan kewenangan ini hingga ke lapisan Polsek. Hal itulah yang seharusnya menjadi perhatian pimpinan Polri dengan melaksanakan pengawasan internal secara ketat dan menerapkan reward and punishment tanpa pandang bulu dan melaksanakan pengawasan itu bersama Kompolnas sebagai  pengawas sebagaimana diamanatkan Undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Polri.
c.    Sarana  dan prasarana pelayanan yang memadai
Polri saat ini sedang berjuang keras dalam memperbaiki citra nya dengan cara meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat. Tentunya dalam mewujudkan pelayanan yang prima bagi masyarakat dibutuhkan sarana dan prasarana yang memadai. Pada masa ini prestasi yang sudah dicapai oleh Polri cukup membanggakan dengan menggunakan dukungan peralatan yang ada tetapi tidaklah berarti harus berpuas diri, walaupun apabila dilihat dari alokasi anggaran yang diberikan bagi Polri sangat besar hal ini dikarenakan Pemerintah sadar bahwa dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat adalah harga yang sangat mahal. Sehingga Polri dapat menginventarisasi kembali setiap peralatan serta dengan segera melakukan peremajaan kembali. Apabila hal ini sudah dilaksanakan, hal ini tidaklah berhenti sampai di sini, Deputi Logistik Polri yang bertanggung jawab atas kepengurusan sarana dan prasarana dalam instansi Polri dapat membagi secara rata (selektif prioritas sesuai kebutuhan masing-masing Polda) agar terjadi pemerataan dan keseragaman dalam pelaksanaan tugas Polri sebagai Polisi Nasional diseluruh Polda di Indonesia. Selain mendambakan Polisi yang humanis, masyarakat juga merindukan wajah Polisi yang menarik serta kehadirannya dapat memberikan rasa aman di seluruh lapisan masyarakat.
Mewujudkan pelayanan yang prima adalah suatu harga mati pelayanan Polri yang saat ini sedang terpuruk citranya oleh buruknya kinerja Reskrim dalam penanganan perkara dan diharapkan paling tidak melalui wujud Polisi lalu lintas dapat sedikit memperbaiki citra Polri di masa datang.
d.    Perbaikan kesejahteraan anggota Polri
Kesejahteraan anggota Polri adalah hal mendasar lainnya yang wajib diperhatikan oleh Pemerintah. Tanpa Polisi yang sejahtera pelayanan yang prima serta tampilan Polisi yang baik hampir mustahil kita temui di tengah masyarakat. Pemerintah telah berupaya keras dalam mewujudkan Polri yang sejahtera baik secara global dengan menaikan gaji pegawai negeri dan secara khusus mewujudkan Remunerasi bagi anggota Polri, dan sebagai buktinya mulai tahun 2011 kinerja Polri sudah mulai diperhitungkan sejak pertengahan tahun 2010. Walaupun secara jujur masih jauh dari yang diharapkan (karena apabila dinilai menurut standar Polisi dunia) karena gaji Polisi Indonesia masih dinilai salah satu yang terendah bahkan di kawasan Asia, dan bagaimana sistem penerapan sistem gaji berbasis kinerja belum sepenuhnya dapat terlaksana dengan baik karena perumusan yang belum sempurna. Namun apabila hal ini kita telusuri secara sitem kepolisian yang dilaksanakan jelas bahwa sudah terjadi pembagian kerja yang nyata bagi satuan seperti Polres untuk mengelola sendiri keuangan dan penggunaan anggaran serta dalam hal mempertanggungjawabkannya. Diharapkan kemudia hari masalah kesejahteraan bukan menjadi tuntutan tugas lagi bagi Polri yang melaksanakan tugas di lapangan tapi dapat menjadi suatu motivasi kerja bagi seluruh anggota Polri.

            Dengan banyaknya penjabaran di atas apakah Polri merupakan organisasi “Super body “ tanpa ada yang mengawasi ? pada pembahasan selanjutnya akan coba kita kupas secara sederhana.

1.    Pengawasan external Polri
Guna menjaga agar Polri melaksanakan tugasnya sesuai ketentuan, dalam undang-undang no 2 tahun 2002 diamanatkanuntuk dibentuk Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) antara lain menampung keluhan masyarakat.
Mengenai aneka penyimpangan oleh anggota Polri yang masih banyak disoroti, seperti penganiayaan, pelecehan, rekayasa perkara dan permainan uang, ada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya (antara lain Kuhap). Selain itu dengan adanya rapat kerja antara Kapolri dan DPR RI akan berfungsi sebagai pengawasan terhadap Polri, selain itu seringpula dilakukan pengawasan olehberbagai lembaga-lembaga baik bersifat swadaya masyarakat maupun perorangan seperti media massa, LSM, Komnasham.
KUHAP juga mengatur adanya Pra Peradilan, dimana wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a.    Sah atau tidaknya suatu penangkapan  dan atau penahanan atas permintaan tersangka/keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
b.    Sah atau tidsaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan .
c.    Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan (pasal 1 butir 10).
Pengawasan intenal Polri
Selama 30 tahun hukum pidana yang berlaku bagi Polri adalah Hukum Pidana Militer. Berdasarkan Tap MPR NomorVII/MPR/2000 pasal 7 (4) : “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada hukum peradilan umum.” Sehingga penegakkan hukum tidak dilakukan lagi oleh lembaga-lembaga peradilan militer tetapi kepada lembaga-lembaga peradilan umum seperti: Kepolisian itu sendiri, Kejaksaan dan Pengadilan termasuk Lembaga Permasyarakatan Umum.
Sedangkan di dalam organisasi Polri sendiri telah dilembagakan  jabatan pengawas yang terdiri atas:
a.    Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum), yang bertugas mengontrol kesesuaian dan kebenaran pelaksanaan tugas dan penggunaan anggaran yang diprogramkan.
b.    Bidang Profesi dan Pengawasan Internal (Propam), yang bertugas mengawasi pelanggaran disiplin dan etika anggota Polriserta pemurnian profesi Kepolisian.
c.    Para Kepala Kesatuan di tiap-tiap tingkatan di daerah ada Irwasda.
Saat ini, beberapa pejabat Polri, baik yang masih aktif maupun yang sudah pensiun, baik perwira menengah atau perwira tinggi, dalam usaha membersihkan diri ke dalam, diusut sehubungan dengan adanya dugaan penyalahgunaanwewenang. Dengan demikian pengawasan Internal Polri sudah mulai berjalan sesuai ketentuan walaupun belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang diharapkan.