Labels

Thursday, March 24, 2011

Sistem Kepolisian Negara Republik Indonesia


I.    PENDAHULUAN
            Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Pasca reformasi 1998 dan ditandai dengan keluarnya Tap MPR No.VI tahun 2000 dan Tap MPR No VII tahun 2000 kedudukan Polri berpisah dengan ABRI (TNI).Ketetapan ini kemudian diikuti dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan kedudukan Polri langsung berada di bawah Presiden RI.Dengan sifatnya sebagai Polisi Nasional, Polri lebih cenderung untuk menganut paradigma Integrated System of policing (Sistem Kepolisian Terpadu), system tersebut telah menjadikan posisi Kepolisian menjadi kekuatan yang bersifat Nasional sebagai intstitusi namun juga berkapasitas fragmented ( kedaerahan). Hal ini terlihat pada beberapa fungsi dan peranan Polri seperti penerimaan anggota Bintara Polri yang diselenggarakan oleh masing-masing Polda di Indonesia, termasuk kebijakan ”Local Job For Local Boy”.
        
         Polri ditingkat pusat dikenal dengan sebutan Mabes Polri,selain itu untuk mewakili keberadaan Polri di tingkat daerah,maka tiap-tiap Provinsi didirikan Kepolisian Daerah dengan tetap menginduk kepada Mabes Polri.Setiap kebijakan operasional yang digulirkan oleh Mabes Polri adalah juga berlaku bagi seluruh Kepolisian Daerah di negara Republik Indonesia.Sehingga pelaksanaan kegiatan Kepolisian Daerah mengacu pada hal tersebut.Hubungan antar Kepolisian Daerah pun bersifat sangat fleksibel, artinya tiap-tiap Kepolisian Daerah dapat melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah dalam melakukan suatu langkah hukum atau penegakan hukum yang terjadi di daerahnya masing-masing, seperti melakukan Operasi Pembalakan liar, Operasi Penyakit masyarakat secara terpadu dsb, demikian halnya bila menghadapi kejahatan lintas Provinsi, Polda dapat bekerjasama dengan Mabes Polri untuk melakukan langkah-langkah kordinasi maupun antisipasi, selain itu untuk beberapa kasus – kasus besar Mabes Polri dapat melakukan langkah-langkah hukum maupun upaya Penyidikan di seluruh wilayah Polda di Indonesia.
         Polri dipimpin oleh seorang Kapolri yang bertanggung jawab kepada Presiden RI karena Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden serta atas persetujuan DPR sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku,kemudian tiap-tiap Kepolisian Daerah dipimpin oleh seorang Kapolda yang bertanggung jawab kepada Kapolri.Salah satu badan pengawas yang dibentuk oleh negara terkait pengawasan kepada Polri adalah Komisi Kepolisian Nasional (KOMPOLNAS).
Tujuan dibentuknya Kompolnas adalah untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan Polri, hal tersebut memungkinkan pada sistem yang terintergrasi secara Nasional, negara khususnya pemerintah pusat mempunyai kekuasaan yang cukup besar untuk ikut mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Polri sehingga di khawatirkan Polri dapat menjadi kepentingan Politik dari kelompok-kelompok tertentu atau sebagai alat kekuasaan, selain itu Kompolnas juga melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas Pokok Polri seperti yang tercantum dalam Pasal 13 Undang-Undang No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

II.   KERANGKA BERPIKIR
Sistem Kepolisian tidak dapat dilepaskan dari dasar Konstitusi yang di gunakan oleh Negara Republik Indonesia yaitu UUD 1945 yang saat ini sudah mengalami amandemen ke 4, UUD 1945 mengatur tentang system Pemerintahan Negara dimana Indonesia adalah merupakan negara Hukum, selain itu dalam UU no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia juga mengatur mengenai bentuk Kepolisian Negara.
Kemudian dalam kaitannya melaksanakan amanat Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menjalankan fungsinya di daerah, Kepolisian juga di pengaruhi oleh UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Karena Otonomi daerah mempunyai anggaran khusus yang dialokasikan sebagai pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban masyarakat. Sehingga dengan demikian untuk mempelajari Polri sebagai satu system tidak dapat dipisahkan dengan aturan-aturan yang ikut mempengaruhinya.
Pemahaman Konsep Sistem, adalah suatu kesatuan himpunan yang utuh menyeluruh dengan bagian-bagian yang saling berkaitan, saling ketergantungan, saling bekerjasama berdasarkan aturan tertentu, untuk mencapai tujuan dari system. ( Prof. Djoko Sutono, C.W. Churchman, Matheus, Lempiro). Di dunia ada 3 ( tiga ) kelompok sistem yaitu:
  1. Fragmented System of Policing ( Sistem kepolisian terpisah atau berdiri sendiri) :  Disebut juga system Desentralisasi yang ekstrim atau tanpa system, dimana adanya kekhawatiran terhadap penyalahgunaan dari suatu organisasi Polisi yang otonom dan dilakukan pembatasan kewenangan Polisi. Sistem ini dianut oleh Negara-negara yaitu Belgia, Kanada, Belanda, Switzerland, Amerika Serikat.
  1. Centralized System of Policing ( Sistem Kepolisian Terpusat) .Berada langsung dibawah kendali pemerintah. Negara-negara yang menganut system ini adalah Perancis, Italia, Finlandia, Israel, Thailand, Taiwan, Irlandia, Denmark, Swedia.
  1. Integrated System of Policing ( Sistem Kepolisian Terpadu),Disebut juga system desentralisasi moderat atau kombinasi atau kompromi, merupakan system control yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah agar terhindar dari penyalahgunaan organisasi Polisi Nasional serta efektif, efisien, dan seragam dalam pelayanan. Negara-negara yang menganut hal ini adalah Jepang, Australia, Brasilia, Inggris dan Indonesia
III. PEMBAHASAN
Negara Republik Indonesia adalah sebuah Negara besar yang berlandaskan hukum, hal ini berarti bahwa Hukum di Indonesia di junjung Tinggi, sesuai dengan pasal  1 ayat 3 UUD 1945 “Bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum, dan Pasal 27 UUD 1945 yang sudah di amandemen; “Bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung  hukum dan Pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Sebagai Basic Law (hukum dasar) UUD 1945 telah mengatur kedudukan warga Negara dan pemerintahan itu sendiri.
Sesuai dengan amanat undang-undang Dasar 1945 maka dibentuklah aparat Negara penegak hukum yaitu Polri yang didasarkan UU no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dalam pasal 13 berbunyi; “dalam mengemban Tugasnya Kepolisian mempunyai Tugas Pokok :
a.  Memelihara Keamanan dan ketertiban masyarakat,
b.  Menegakan hukum,
c.  Melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat
Dan dalam pelaksanaan Tugas Pokok tersebut Polri mempunyai wadah Organisasi yang di sebut Kepolisian Negara Republik Indonesia yang merupakan satu kesatuan dan berada di bawah Presiden, sehingga Kapolri bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden.
Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menganut sistem Kepolisian yang tersentralisasi mutlak/total, sejak kira-kira 20 tahun yang lalu Polri telah menetapkan bahwa kesatuan Polri tingkat Polres sebagai Kesatuan Operasional dasar, dimana kesatuan tersebut merupakan kesatuan yang memiliki hubungan paling dekat dengan masyarakat, dan melaksanakan fungsi kepolisian secara penuh serta bertangung jawab langsung atas semua pelaksanaan tugas pokok Kepolisian di tingkatnya tersebut. Sedangkan Polsek merupakan Kesatuan terkecil dalam instansi Polri yang memiliki kedudukan setara dengan Kecamatan / Desa, dan bertugas untuk mengemban seluruh tugas pokok Kepolisian sampai ke unit terkecil pemerintahan yaitu desa, terutama dalam pelaksanaan tugas pokok Polri sebagai pelindung dan pelayan masyarakat. Desentralisasi dalam bidang Administratif juga akan memberikan lebih banyak otoritas kepada Polres.
Dalam melaksanakan Tugas Pokoknya Polri pun sudah harus bisa untuk memberikan sedikit dari sekian banyak kewenangannya kepada para penjual jasa keamanan (swasta) seperti: jasa pengamanan dalam pengiriman uang, security/satpam, dan lain-lain. Untuk turut serta dalam menjaga keamanan di lingkup wilayah hukum kepolisian itu berada baik itu berupa pemukiman warga, pabrik/perusahaan, dan lain sebagainya. Polda/Polres pun dapat melakukan operasi Kepolisian khususnya di wilayah Polda/Polres itu berada dan diselenggarakan sesuai dengan karakteristik wilayah,dan masyarakatnya, jadi dalam hal ini dapat dikatakan dalam suatu institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat ditemukan keanekaragaman dalam pelaksanaan Operasi Kepolisian khusus yang dapat diidentifikasi mulai dari jenis dan sifat operasi Kepolisian Khusus tersebut, dan tentunya hal ini terjadi karena adanya penyesuaian terhadap karakteristik wilayah dan masyarakat dimana Polda/Polres/Polsek tersebut berada.
Dalam pelaksanaan tugas Kepolisiannya sehari-hari, Kepolisian tingkat Polda/Polres/Polsek dapat melakukan kerjasama dengan pihak pemerintah daerah setempat (baik tingkat provinsi,Kabupaten/Kota,Kecamatan, hingga tingkat Desa), hal ini tercermin pada saat periode pelaksanaan pemilihan umum daerah pasca reformasi dimana sejak masa pentahapan Pemilihan Umum daerah tersebut diproses sudah harus membutuhkan perlibatan kekuatan dalam rangka menciptakan suasana keamanan, maka polda atau polres dapat membantu secara kesadaran/inisiatif ataupun meminta back-up bantuan dari kesatuan yang ada di atasnya dalam rangka terciptanya kondisi keamanan yang stabil dan menjamin agar proses berjalannya Pemilu Daerah tersebut berjalan dengan lancar.
Untuk mendekatkan penyelenggaraan manajemen kepolisian kepada masyarakat yang dilayani perlunya Desentralisasi, Desentraliasi polisi ini dimaksudkan untuk mengembangkan satuan organisasi terdepan (Polres) menjadi lebih otonom dalam kerangka sistem kepolisian nasional dan sejalan pula dengan kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan prinsip ini, pendekatan penyelesaian perkara (ringan) dapat dilakukan secara informal dengan pemberdayaan potensi local, sehingga polisi diharapkan memfokuskan perhatiannya pada kejahatan-kejahatan berat yang meresahkan dan menarik perhatian publik. Bagi polisi, masyarakat bukan hanya kepada siapa mereka memberikan pelayanan jasa kepolisian tetapi juga kepada siapa mereka harus bertanggungjawab. Pertanggung ­jawaban hukum khususnya atas penggunaan upaya paksa oleh individu polisi maupun pertanggungjawaban organisatorik kepolisian, tidak meniadakan pertanggungjawaban publik (public accountability) kepolisian. Akuntabilitas publik kepolisian menjadi penting mengingat pekerjaan polisi syarat dengan kewenangan/diskresi, bahkan menyangkut kehidupan (nyawa) seseorang dan hal itu sukar dikontrol, Konsekwensinya, akses publik harus dibuka bagi pengawasan terhadap tugas-tugas kepolisian, baik terhadap segala tindakan kepolisian maupun perumusan kebijakan dan manajemen kepolisian. Sikap demikian dibutuhkan bukan saja oleh masyarakat dalam kapasitasnya sebagai obyek tindakan polisi, tetapi karena kepolisian harus mernbangun kemitraan dengan masyarakat, dari mana mereka membutuhkan dukungan.  Di sini pekerjaan polisi memerlukan pengawasan yang ekstra dibanding dengan institusi lain, karena pada institusi ini melekat selain kewenangan tersebut di atas juga budaya organisasi yang didasarkan pada solidaritas (solidarity) dan kerahasiaan (secrecy).
Budaya solidaritas dapat mendorong  kearah semangat melindungi teman sesama korps meskipun mereka itu salah. Sedangkan implikasi negatif dari kerahasiaan, menyebabkan polisi suka menyembunyikan kesalahan yang diketahui telah dilakukan oleh koleganya (keep silent). Kedua budaya ini bisa menjadi pengahambat utama jalannya pengawasan internal secara efektif. Sering kita dengar melalui mas media sidang Dewan Kode Etik Kepolisian hanya menjatuhkan sanksi yang tidak menyelesaikan persoalan fundamental. Disini perlunya suatu badan independen untuk mengawasi pelaksanaan tugas kepolisian dan mencari solusi bagi masalah structural yang dihadapi polisi. Sejalan dengan pemikiran desentralisasi satuan-satuan wilayah kepolisian yang  disinggung di atas, hubungan kerjasama antara Polri dengan pemerintah daerah perlu dikembangkan sedemikianrupa sehingga pemerintah daerah bisa mendayagunakan PoIri dalam menjalankan perannya untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum (lokal) termasuk mencegah kejahatan. Sementara itu kebutuhan anggaran PoIri bisa didukung dengan anggaran pendapatan daerah dibawah pengawasan pemerintah daerah. Sinergi dalam pengelolaan keamanan dan ketertiban umum menjadi sangat penting mengingat misi kepolisian tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya perwujudan kesejahteraan masyarakat. Ini berarti bahwa keberhasilan PoIri dalam menjalankan misinya menjadi tidak berarti jika tidak memberi kontribusi bagi upaya peningkatan kesejehteraan menuju masyarakat madani (civil society).
Melihat kedudukan dan tugas Kepolisian Negara Republiki Indonesia dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Polri cenderung menerapkan paradigma Integrated System of Policing (Sistem Kepolisian Terpadu), hal tersebut di tegaskan dalam Susunan dan kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diatur dalam Pasal 6 UU kepolisian bahwa Dalam rangka pelaksanaan peran dan fungsi kepolisian, wilayah negara Republik Indonesia dibagi dalam daerah hukum menurut kepentingan pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan setiap daerah tersebut memliki kewenanganannya sendiri dalam menjalankan tugas-tugas operasional Kepolisian.

Selain itu sejak berlakukanya Undang-Undang no 32 tahun 2004 yang mengatur mengenai Otonomi Pemerintahan daerah disebutkan bahwa sesuai Pasal 13 huruf c, Pemerintah Daerah mempunyai wewenang dalam menyelenggarakan Ketertiban dan ketentraman Masyarakat, hal tersebut sejalan dengan Tugas Pokok Polri, sehingga dalam pelaksanaannya harus terintegral dan ada koordinasi yang baik antar setiap Instansi Polri maupun Pemerintah Daerah, Hal inilah yang menjadikan Kepolisian di Daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda antar satu dengan yang lainnya.
Bahkan pada daerah-daerah tertentu yang memiliki Sumber Daya besar dan menunjang penduduk di daerah tersebut, ada kebijakan untuk mengalokasikan tunjangan kepada Anggota Polri yang bertugas di daerah tersebut, sebagai contoh pada Propinsi Kalimantan Timur, selain gaji resmi yang di berikan dari Negara ada tunjangan khusus yang didapatkan oleh seluruh anggota Polri di wilayah Kalimantan Timur, hal tersebut merupakan hal yang positif dalam upaya membangun kerjasama dan koordinasi yang baik antar Instansi, namun yang harus di perhatikan disini adalah, hendaknya pemberian Insetif atau tunjangan tersebut tidak menjadikan anggota Polri di wilayah tersebut menjadi abai terhadap pelanggaran pidana yang terjadi walaupun hal tersebut dilakukan oleh birokrasi Pemerintah Daerah.
           
Pada system paradigma Integrated System of Policing (Sistem Kepolisian Terpadu) yang di gunakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan;

A.   Kelebihan
1)    Birokrasi nya relatif tidak panjang karena adanya tanggung jawab dari Pemerintah Daerah.
Hal ini merupakan kombinasi antara Sistem Kepolisian Terpisah (Fragmented System of Policing)  dan Sistem Kepolisian Terpusat (Centralized System of  Policing), yaitu dimana suatu lembaga kepolisian di suatu daerah tertentu selain mendapat sokongan dari pemerintah   daerah   setempat   terkait   dengan   penyelenggaraan   kegiatan kepolisian,  termasuk  dalam  hal   dukungan  anggarannya,  juga  mendapat sokongan   dari   pemerintah   pusat   untuk   kegiatan- kegiatan   kepolisian tertentu.
2)    Kecendrungan terhadap standarisasi profesionalisme ,efisiensi ,efektif baik dalam bidang administrasi maupun operasional
Hal   ini   dimungkinkan   terjadi  dalam Sistem Kepolisian Terpadu (Integrated System of Policing) karena setiap lembaga kepolisian yang ada di setiap daerah berada dalam satu struktur lembaga kepolisian nasional, sebagaimana di Jepang yaitu di dalam wadah NPA (National Police Agency), artinya suatu standarisasi profesionalisme kepolisian   dapat   ditentukan   karena   adanya   satu   peraturan   perundang-undangan yang sama yang mengatur lembaga kepolisian secara nasional.
3)    Pengawasan dapat dilakukan secara Nasional
Mengingat terdapat keterlibatan pemerintah pusat di dalam sistem kepolisian dengan paradigma  tersebut.  Hal   ini  dikarenakan  dalam  sistem   kepolisian  yang terpadu,   pemisahan   hanya   terjadi   dalam   hal-hal   yang   terkait   dengan fungsionalisasi   operasional   kepolisian,   namun   secara   struktural   tetap berada   dalam   satu   wadah   lembaga   kepolisian   nasional,   sehingga memungkinkan terjadinya pengawasan oleh pemerintah pusat  disamping oleh pemerintah daerah setempat.
4)    Lebih mudah koordinasi tiap-tiap wilayah karena adanya komando atas.
Hal  ini  dikarenakan  lembaga kepolisian  yang  berada   di   daerah- daerah   masih  berada   di  bawah  satu komando   lembaga   kepolisian  nasional   yang  berada   di  pusat,  sehingga secara   berjenjang  terdapat  sistem  komando  yang  berlapis   dari  struktur terbawah hingga teratas.
B.   Kelemahan
1)    Penegakan hukum terpisah atau berdiri sendiri artinya tidak bisa memasuki wilayah hukum daerah lain dalam menegakkan hukum.
Hal  ini  dikarenakan  dalam  hal  pelaksanaan  penegakan  hukum telah   ditentukan   berdasarkan   peraturan   perundang-undangan   bahwa lembaga kepolisian lokal di suatu daerah hanya dapat  menangani kasus-kasus kejahatan yang terjadi di daerahnya, sebagimana yang dilaksanakan di Jepang, suatu kesatuan setingkat Polres di Jepang, yaitu Police Station hanya dapat  melakukan penegakan hukum di  daerahnya saja  sedangkan jika terjadi suatu kasus kajahatan yang melibatkan lebih dari satu daerah maka penanganannya dilaksanakan oleh satuan kepolisian setingkat Polda yaitu Perfektur, demikian pula jika terjadi kasus transnational crime maka lembaga kepolisian pusat yang akan menanganinya. Jadi disamping hal ini merupakan   suatu   kelemahan,   namun   juga   terdapat   kelebihan   karena adanya pembagian wewenang yang jelas  di antara setiap jenjang struktur lembaga kepolisian yang ada.
2)    Kewenangan terbatas hanya sebatas daerah dimana Polisi berada atau bertugas.
Maka  akan  terjadi hambatan   penanganan   suatu   kasus   kejahatan   manakala   terjadi   kasus kejahatan  yang  melibatkan  lebih  dari   satu  yurisdiksi  kepolisian  lokal. Dalam   hal   ini   penanganan   kasus   tidak   bisa   dilakukan   secara   cepat sebagaimana   yang  terjadi   di   Indonesia  dimana   suatu   satuan   setingkat Polres dapat saja melakukan pengembangan suatu kasus kejahatan sampai ke luar  wilayah hukum Polres  tersebut memasuki wilayah hukum Polres lain selama masih terdapat kaitan peristiwa atau pembuktian dalam kasus tersebut.
            Mengapa kedudukan Polri berada di bawah Presiden ? semenjak 1 Juli 1946, Polri merupakan organisasi yang membawah kepada  Perdana Menteri dan Presiden. Demi integrasi ABRI dengan dibentuknya Departemen Pertahanan dan Keamanan dan Panglima ABRI tahun 1967, maka pada saat itu pertama kali Polri membawah kepada Menhankam/Pangab. Seiring dengan perjalan demokrasi di Indonesia kemudian dikoordinasikan oleh Menkopolkam (sekarang Menko Polhukam) khususnya untuk menyerasikan kebijakan dan pelaksanaan dengan instansi terkait. Setelah reformasi, dengan undang-undang no. 2 tahun 2002, Presiden dalam membawahi Polri dibantu oleh suatu Komisi Kepolisian Nasional dengan ketua Menkopolhukkam, Wakil ketua Mendagri dan anggota Menteri Hukum dan HAM. Disamping ketiga pejabat ex officio itu keanggotaan Kompolnas juga terdiri atas 3 orang tokoh masyarakat dan 3 orang pakar kepolisian.
Berkaca kepada kelebihan serta kelemahan yang ditulis di sebelumnya sistem kepolisian tersebut adalah sistem yang masih cocok diberlakukan di Indonesia, karena kepolisian lokal Indonesia (Polda) belum dapat melepaskan unsur-unsur unik dari kebudayaan  daerah tempat Polda itu berasal, dengan kata lain unsur etnik melekat pada pelaksanaan sistem kepolisian di daerah. Namun dengan demikian bukan berarti kepolisian di daerah sudah mampu melaksanakan sistem birokrasinya sendiri atau otonom penuh karena kepolisian di daerah masih memerlukan pengawasan serta back up secara kuntinuitas apabila diperlukan dalam penanganan permasalahan tertentu di masing-masing Polda.
Secara praktis pelaksanaan perpolisian di daerah sangat tidak dapat dipisahkan dengan dengan sistem pemerintahan di daerah walaupun tidak ada ketergantungan dengan Pemda setempat, sifatnya hanya saling melengkapi. Hal ini dikarenakan pemerintahan di daerah tidak dapat berjalan dengan baik tanpa dukungan keamanan yang kondusif oleh pengemban fungsi itu yaitu Kepolisian, sedangkan kepolisian juga tidak dapat berjalan dalam harkamtibmas, penegakan hukum serta dalam memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dengan baik, tanpa pemerintah daerah karena kontrol sosial secara dominan masih berfokus pada tugas pemerintah daerah dalam mengembangkan serta pembinaannya.
Sebagai contoh dalam penerapan Polmas, mabes Polri hanya menyampaikan program dan aturan main secara global, sedangkan pelaksanaannya sendiri tergantung bagaimana Kepolisian di daerah dalam mengembangkan dengan melihat potensi wilayah dan masyarakat masing-masing. Walaupun terkesan dalam pembentukannya terlihat tergesa-gesa dimana Polri tidak melibatkan institusi atau pihak-pihak terkait dalam perumusannya, namun kebijakan ini saat diberlakukan di kewilayahan tetap harus melibatkan pemerintah daerah dari tingkat Propinsi sampai kepada Kecamatan. Dengan penggelaran sampai ke Kecamatan yang diemban oleh Polsek. Polmas sedikit demi sedikit merasuk dalam sendi-sendi kemasyarakatan sehingga goal yang diharapkan kehadiran Polisi di tengah-tengah masyarakat dirasakan kehadirannya dan diharapkan menjadi Polisi yang dicintai oleh masyarakatnya. Dan kini Polmas tetap menjadi program unggulan Polri dalam mendukung visi dan misi Polri ke depan.
Kita melihat struktur organisasi Polri secara jelas bahwa sistem koordinsi dari struktur Kepolisian pada tingkat Mabes sampai kepada Polda, di sini terlihat bahwa Polda yang dipimpin oleh Kapolda memiliki garis Komando yang langsung kepada Kapolri, jadi jelas hal ini menerangkan bahwa walaupun pada jenjang kepangkatan masih rendah dibanding pejabat Mabes Polri yang lain seperti Kepala-kepala Badan, namun secara struktural sifatnya berkoordinasi sedangkan kepada Kalpolri merupakan pertanggung jawaban secara langsung. Hal ini menunjukan  bahwa walaupun terkesan terpusat secara kesisteman namun Polda memiliki kewenangan-kewenangan tertentu dalam melaksanakan kebijakan Polri namun hal tersebut tetap harus dipertanggungjawabkan kepada Kapolri.
Namun hal ini menyebabkan bahwa perlunya koordinasi antar Polda dalam menangani kasus-kasus antar wilayah dan pulau, dimana walaupun kepolisian nasional tidak secara otomatis dapat serta merta menangkap seorang yang diduga pelaku tindak pidana pada wilayah Polda lain, diperlukan adanya koordinasi dengan melaporkan adanya kegiatan upaya paksa oleh anggota Polda lain serta mengikutsertakannya sebagai upaya legitimasi hukum yang dijalankan. Hal inipun bukan hanya berlaku di tingkat antar Polda tetapi juga antar Polres pada satu Polda dan antar Polsek pada satu Polres. Birokrasi ini terlihat menyulitkan karena pada beberapa kasus dapat terjadi perselisihan antar penegak hukum yang berlainan wilayah hukum bila tidak terjadi koordinasi yang baik. Tetapi apabila kita melihat sisi positifnya adalah bahwa anggota Polri setempatlah yang mengerti situasi dan kondisi yang ada pada wilayah tersebut sehingga mengapa perlu dilaporkan, dikoordinasikan serta diikutsertakannya anggota setempat.
Jikalau melihat contoh di atas sangatlah penting adanya keterpaduan yang secara langsung oleh Mabes Polri untuk melaksanakan pengawasan secara berkesinambungan demi menjaga eksistensi daripada Kepolisian Nasional, dengan 31 Polda tergelar dari 33 Propinsi yang ada di Indonesia, yang kemungkinan dalam waktu dekat akan bertanbah sesuai jumlah Propinsi maupun kebutuhan bangsa dan negara dalam upaya pemeliharaan Kamtibmas, penegakan hukum maupun perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat seluruh Indonesia.
   
    Dengan sangat luasnya kewenangan yang diamanatkan undang-undang kepada Polri menuntut adanya tanggung jawab yang besar pula dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peta di atas menggambarkan Nusantara Indonesia yang dipersatukan bukan karena hanya ”Bhineka Tunggal Ika” dimana mengakui adanya persatruan dan kesatuan di dalam perbedaan, namun juga kehadiran Polisi Negara yang menjadi alat pemersatu Bangsa Indonesia..
Pada pembahasan selanjutnya akan kita bahas mengenai kendala-kendala Polri di masa kini dalam mengembangkan dirinya dan  sebagai Organisasi yang menjalankan  sistem keterpaduan. Adapun hal-hal tersebut adalah sebagai berikut :
a.    Pembenahan sumber daya manusia Polri
Tidak dapat dipungkiri kemajuan suatu organisasi sangat bergantung dari sumber daya manusia yang ada di dalamnya. Harus diakui bahwa sumber daya Polri yang ada saat ini sangat jauh dari kata sempurna dan hal itu sering nampak pada saat anggota Polri menghadapi masyarakat baik dalam pelayanan Polri maupun dalam mengambil langkah represif dalam menegakan hukum, hal ini dapat dipengaruhi seberapa kedalaman serta kearifan moral anggota tersebut, dan hal ini termasuk dalam kualitas sumber daya manusia Polri. Oleh karena itu Polri kini berupaya keras dalam memperbaiki sistem penerimaan / rekruitment anggota Polri yang diharapkan akan memperbaiki kinerja Polri di masa akan datang, sebagai contoh dengan memperketat kualitas penerimaan seperti pelaksanaan tes yang diawasi oleh  kalangan masyarakat seperti LSM, maupun tokoh masyarakat diharapkan agar pada saat nanti juga akan mempengaruhi kinerja Polisi yang bersih di masa datang, untuk menjadi agen-agen perubahan Polri. Dalam hal ini rekruitmen atau penerimaan Polri dilaksanakan  oleh masing-masing Polda dimana hal ini untuk memeperbesar kapasitas Polda dalam mencari bibit muda Polri yang mengenal sifat dan karaktristik kewilayahan masing-masing, hal ini sering dikenal sebagai ”local boy for local job”.
b.    Pembenahan ’cultursal set’ Polri
Sistem komando yang bersifat top down mengakibatkan seringnya terjadi penyalahgunaan wewenang oleh Pimpinan Polri yang diturunkan secara berjenjang sampai ke tingkat bawah atau anggota pelaksana  di lapangan. Bukan berarti sistem komando itu salah namun perlu adanya upaya pembenahan secara komprehensif atau menyeluruh dalam tubuh Polri. Walaupun secara regulasi telah diatur secara jelas dalam Kode etik Profesi Polri, serta akibat-akibat hukum yang akan diterima apabila melakukan suatu pelaggaran hukum, tetapi hal ini tidak terlalu efektif dijalankan. Sehingga sangat mungkin terjadi secara berjenjang penyalahgunaan kewenangan ini hingga ke lapisan Polsek. Hal itulah yang seharusnya menjadi perhatian pimpinan Polri dengan melaksanakan pengawasan internal secara ketat dan menerapkan reward and punishment tanpa pandang bulu dan melaksanakan pengawasan itu bersama Kompolnas sebagai  pengawas sebagaimana diamanatkan Undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Polri.
c.    Sarana  dan prasarana pelayanan yang memadai
Polri saat ini sedang berjuang keras dalam memperbaiki citra nya dengan cara meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat. Tentunya dalam mewujudkan pelayanan yang prima bagi masyarakat dibutuhkan sarana dan prasarana yang memadai. Pada masa ini prestasi yang sudah dicapai oleh Polri cukup membanggakan dengan menggunakan dukungan peralatan yang ada tetapi tidaklah berarti harus berpuas diri, walaupun apabila dilihat dari alokasi anggaran yang diberikan bagi Polri sangat besar hal ini dikarenakan Pemerintah sadar bahwa dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat adalah harga yang sangat mahal. Sehingga Polri dapat menginventarisasi kembali setiap peralatan serta dengan segera melakukan peremajaan kembali. Apabila hal ini sudah dilaksanakan, hal ini tidaklah berhenti sampai di sini, Deputi Logistik Polri yang bertanggung jawab atas kepengurusan sarana dan prasarana dalam instansi Polri dapat membagi secara rata (selektif prioritas sesuai kebutuhan masing-masing Polda) agar terjadi pemerataan dan keseragaman dalam pelaksanaan tugas Polri sebagai Polisi Nasional diseluruh Polda di Indonesia. Selain mendambakan Polisi yang humanis, masyarakat juga merindukan wajah Polisi yang menarik serta kehadirannya dapat memberikan rasa aman di seluruh lapisan masyarakat.
Mewujudkan pelayanan yang prima adalah suatu harga mati pelayanan Polri yang saat ini sedang terpuruk citranya oleh buruknya kinerja Reskrim dalam penanganan perkara dan diharapkan paling tidak melalui wujud Polisi lalu lintas dapat sedikit memperbaiki citra Polri di masa datang.
d.    Perbaikan kesejahteraan anggota Polri
Kesejahteraan anggota Polri adalah hal mendasar lainnya yang wajib diperhatikan oleh Pemerintah. Tanpa Polisi yang sejahtera pelayanan yang prima serta tampilan Polisi yang baik hampir mustahil kita temui di tengah masyarakat. Pemerintah telah berupaya keras dalam mewujudkan Polri yang sejahtera baik secara global dengan menaikan gaji pegawai negeri dan secara khusus mewujudkan Remunerasi bagi anggota Polri, dan sebagai buktinya mulai tahun 2011 kinerja Polri sudah mulai diperhitungkan sejak pertengahan tahun 2010. Walaupun secara jujur masih jauh dari yang diharapkan (karena apabila dinilai menurut standar Polisi dunia) karena gaji Polisi Indonesia masih dinilai salah satu yang terendah bahkan di kawasan Asia, dan bagaimana sistem penerapan sistem gaji berbasis kinerja belum sepenuhnya dapat terlaksana dengan baik karena perumusan yang belum sempurna. Namun apabila hal ini kita telusuri secara sitem kepolisian yang dilaksanakan jelas bahwa sudah terjadi pembagian kerja yang nyata bagi satuan seperti Polres untuk mengelola sendiri keuangan dan penggunaan anggaran serta dalam hal mempertanggungjawabkannya. Diharapkan kemudia hari masalah kesejahteraan bukan menjadi tuntutan tugas lagi bagi Polri yang melaksanakan tugas di lapangan tapi dapat menjadi suatu motivasi kerja bagi seluruh anggota Polri.

            Dengan banyaknya penjabaran di atas apakah Polri merupakan organisasi “Super body “ tanpa ada yang mengawasi ? pada pembahasan selanjutnya akan coba kita kupas secara sederhana.

1.    Pengawasan external Polri
Guna menjaga agar Polri melaksanakan tugasnya sesuai ketentuan, dalam undang-undang no 2 tahun 2002 diamanatkanuntuk dibentuk Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) antara lain menampung keluhan masyarakat.
Mengenai aneka penyimpangan oleh anggota Polri yang masih banyak disoroti, seperti penganiayaan, pelecehan, rekayasa perkara dan permainan uang, ada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya (antara lain Kuhap). Selain itu dengan adanya rapat kerja antara Kapolri dan DPR RI akan berfungsi sebagai pengawasan terhadap Polri, selain itu seringpula dilakukan pengawasan olehberbagai lembaga-lembaga baik bersifat swadaya masyarakat maupun perorangan seperti media massa, LSM, Komnasham.
KUHAP juga mengatur adanya Pra Peradilan, dimana wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a.    Sah atau tidaknya suatu penangkapan  dan atau penahanan atas permintaan tersangka/keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
b.    Sah atau tidsaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan .
c.    Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan (pasal 1 butir 10).
Pengawasan intenal Polri
Selama 30 tahun hukum pidana yang berlaku bagi Polri adalah Hukum Pidana Militer. Berdasarkan Tap MPR NomorVII/MPR/2000 pasal 7 (4) : “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada hukum peradilan umum.” Sehingga penegakkan hukum tidak dilakukan lagi oleh lembaga-lembaga peradilan militer tetapi kepada lembaga-lembaga peradilan umum seperti: Kepolisian itu sendiri, Kejaksaan dan Pengadilan termasuk Lembaga Permasyarakatan Umum.
Sedangkan di dalam organisasi Polri sendiri telah dilembagakan  jabatan pengawas yang terdiri atas:
a.    Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum), yang bertugas mengontrol kesesuaian dan kebenaran pelaksanaan tugas dan penggunaan anggaran yang diprogramkan.
b.    Bidang Profesi dan Pengawasan Internal (Propam), yang bertugas mengawasi pelanggaran disiplin dan etika anggota Polriserta pemurnian profesi Kepolisian.
c.    Para Kepala Kesatuan di tiap-tiap tingkatan di daerah ada Irwasda.
Saat ini, beberapa pejabat Polri, baik yang masih aktif maupun yang sudah pensiun, baik perwira menengah atau perwira tinggi, dalam usaha membersihkan diri ke dalam, diusut sehubungan dengan adanya dugaan penyalahgunaanwewenang. Dengan demikian pengawasan Internal Polri sudah mulai berjalan sesuai ketentuan walaupun belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang diharapkan. 

No comments:

Post a Comment

Terima kasih anda telah memberi komentar