Labels

Monday, May 2, 2011

ASPEK HUKUM TRANSNASIONAL DARI TINDAK PIDANA DI BIDANG LINGKUNGAN HIDUP



I.      PENDAHULUAN
A.   Latar belakang masalah
Lingkungan hidup merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar tetap dapat menjadi sumber penunjang hidup bagi manusia dan makhluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri. Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 UU No 32 tahun 2009; Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Manusia dan makhluk hidup lainnya tentu tidak berdiri sendiri dalam proses kehidupan, saling berinteraksi, dan membutuhkan satu sama lainnya. Kehidupan yang ditandai dengan interaksi dan saling ketergantungan secara teratur merupakan tatanan ekosistem yang di dalamnya mengandung esensi penting, dimana lingkungan hidup sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dibicarakan secara terpisah. Lingkungan hidup harus dipandang secara menyeluruh dan mempunyai system yang teratur serta diletakkannya semua unsur di dalamnya secara setara. Pembaharuan dan pembangunan telah membawa banyak bencana bagi lingkungan hidup dan kemanusiaan, dalam hal ini, lingkungan hidup ditafsirkan secara konvensional. Lingkungan hidup dianggap sebagai objek. Sudut pandang ini memandang dan menempatkan lingkungan hidup sebagai objek yang juga berarti kekayaan dan dapat dimanfaatkan untuk semata menunjang pembangunan, akibatnya keadaan alam dan lingkungan saat ini telah menjadi kian parah dari masa ke masa. Saat ini, terdapat isu global tentang pemanasan global yang melanda bumi, Negara Indonesia sendiri saat ini tercatat sebagai Negara penghancur hutan tercepat di dunia, meskipun PBB telah menetapkan Indonesia sebagai paru-paru dunia.
 Eksploitasi alam dan lingkungan di Indonesia sebagai negara berkembang seringkali mengorbankan Lingkungan untuk kepentingan modal dengan dalih pembangunan, hal tersebut dapat dirasakan sejak rezim Orde Baru berkuasa, wilayah peruntukan Indonesia telah dibagi berdasarkan kepentingan modal. Hal ini dapat dilihat dari perencanaan dan luasan peruntukan lahan daratan Indonesia sebagai berikut; menurut data yang dilansir Departemen Kehutanan dan Departemen Perindustrian pada tahun 2008 lalu, Luas daratan Indonesia sebesar 191,944,000 ha, dimanfaatkan untuk pertambangan seluas 75.891.496 ha, Hak Pemilikan Hutan seluas 38.025.891 ha, Hak Tebang Industri seluas 7.861.251 ha, Perkebunan Kelapa Sawit seluas 2.957.079 ha, Hutan Lindung seluas 31.900.000 ha, dengan demikian seluruhnya berjumlah 170.935.717 ha, dan yang tersisa adalah 15.008.283 ha. Dengan demikian, dampak dari berbagai kegiatan yang bersifat eksploitasi tersebut paling besar dirasakan oleh masyarakat sekitar, misalnya seperti yang dialami oleh Masyarakat adat Amugme dan Komoro di Papua, di wilayah ini terdapat operasi pertambangan emas dan tembaga yang berlangsung lama dengan skala eksploitasi besar, menyebabkan musnahnya ekologi wilayah setempat di antaranya pencemaran sungai dan danau, hilangnya hutan dan keragaman hayati menyebabkan terjadinya banjir bandang di Wasior Papua baru-baru ini, terjadinya hujan asam, dan pengaruh terhadap kesuburan tanah. Hal lain juga menyebabkan hilangnya keragaman budaya masyarakat setempat karena musnahnya ekosistem masyarakat adat.
 Selain eksploitasi sumber daya alam yang menjadi-jadi, kerusakan lingkungan hidup di Indonesia juga disebabkan oleh pola hidup dan kebiasaan masyarakat Indonesia yang kurang menghargai lingkungan belakangan ini, seperti seringnya terjadi banjir  bahkan di daerah-daerah yang masih banyak terdapat lahan hijau dan lahan terbuka meskipun hujan terjadi dalam tempo yang relatif singkat, hal tersebut karena menumpuknya sampah pada saluran-saluran pembuangan. Kerusakan lingkungan hidup telah memberi efek yang menyengsarakan bagi kehidupan, penderitaan korban bencana alam, 3,5 juta hektar hutan yang musnah serta sejumlah kekerasan dan konflik horisontal yang juga diakibatkan oleh sengketa lingkungan hidup telah menyebabkan mereka menjadi pengungsi pembangunan yang menimbulkan masalah baru menyebabkan menurunnya kualitas hidup mereka. Kerusakan Lingkungan hidup di Indonesia, semakin hari semakin memprihatinkan, bahkan telah membahayakan hidup dan kehidupan setiap makhluk hidup di dalam dan sekitarnya. termasuk kehidupan generasi di masa datang. Padahal, hakekat lingkungan hidup merupakan kehidupan yang melingkupi tata dan nilai-nilai kehidupan yang ada di dalamnnya. Tata dan nilai yang menjaga keberlanjutan lingkungan hidup dan sumberdaya alam dan keadilan sosial bagi kehidupan manusia saat ini dan generasi yang akan datang. Demikian pula yang perlu dipertegas adalah Lingkungan hidup harus dipandang dan diperlakukan sebagai subyek, dikelola untuk kehidupan berkelanjutan bukan semata-mata kepentingan pembangunan, sebagaimana konsep suisstenable development (pembangunan yang berkelanjutan) yang tercantum dalam pasal 1 ayat 3 UU no 32 tahun 2009.
Setidaknya ada 3 (tiga) jenis perusak lingkungan yang hadir di dunia dan mengancam keselamatan dan kesejahteraan masyarakat lokal di negara-negara berkembang. Pertama, adalah industri pertanian global, kedua, industri pertambangan, dan ketiga, adalah industri kehutanan. Globalisasi  memperlihatkan 2 (dua) dimensi yakni, pertama dimensi ekonomi dan korporasi (economic and corporation globalization). Kedua, dimensi politik dan negara (political and state globalization). Kedua dimensi tersebut nampak pada kebijakan yang diskenariokan dan didesain oleh  negara-negara maju yang tergabung dalam G 8 melalui 3 (tiga) lembaga yaitu, pertama lembaga keuangan internasional (International Financial Institutions/IFI’s), kedua Organisasi Perdangangan Dunia (World Trade Organization/WTO), dan ketiga perusahaan multinasional (Multinational Corporation/MNC). Melalui  lembaga-lembaga tersebut, negara-negara maju semakin memperkokoh hegemoni mereka untuk mengatur dan mengontrol sumber-sumber di dunia. Lewat tangan WTO mereka mengatur kebijakan perdagangan dunia. Kemudian dengan meminjam kekuatan IMF, mereka menekan negara-negara untuk melakukan deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi.
Gejala ini menunjukkan bahwa kekuasaan korporasi kini telah menyaingi kekuasaan ekonomi negara-negara yang mana proses tersebut bukan terjadi secara alamiah tetapi berdasarkan suatu rancangan kebijakan politik-ekonomi yang kini dikenal sebagai neoliberalisme dan globalisasi kapitalis. Demikian juga halnya dengan tata ruang kota yang hanya memfasilitasi kepentingan pemodal melalui pembangunan apartemen, mal, dan sentra-sentra bisnis lainnya melalui penggusuran hunian masyarakat miskin kota sebangun dengan kecenderungan terjadinya komodifikasi ruang-ruang publik sebagai nafas utama kapitalisme.
Kerusakan lingkungan di kawasan industri Exxon Mobil Oil (Aceh), Freeport (Papua), Newmont Minahasa (Sulaewsi Utara), dan Newmont Nusa Tenggara (NTB) jika dianalisis berdampak berlipat ganda dan berefek domino ketika model Pemerintah yang otoriter berpadu dengan factor kekuatan modal internasional.  Di desa Buyat Pantai, Sulawesi Utara, lokasi pembuangan limbah penambangan emas PT Newmont Minaha misalnya, beberapa perempuan dan anak-anak seperti kehilangan harapan hidup karena tidak mampu lagi menghadapi proses pemiskinan akibat hancurnya perairan tempat menangkap ikan.  Bahkan pada kasus terbaru yaitu terjadinya banjir lumpur di Sidoarjo yang menenggelamkan 10 desa dalam 3 kecamatan, diduga akibat kelalaian yang dilakukan oleh PT. Minarak Lapindo anak perusahaan milik Bumi Resources milik keluarga Bakrie. Kondisi ini  merefleksikan 2 (dua) persoalan besar sebagai akibat dari konflik kepentingan  antara rakyat dan investasi  yang berdampak pada masyarakat, yakni pertama kehilangan tanah (wilayah kelola) dan kedua kerusakan lingkungan. Hal tersebut seiring sejalan dengan lemahnya penegakan hukum lingkungan yang disebabkan kurangnya pemahaman para penegak hukum mengenai penerapan sanksi hukum pidana, dimana lebih mengutamakan konsep Ultimum Remedium (Pidana sebagai sarana terakhir), padahal akibat yang ditimbulkan sangat besar, berdampak luas dan mengancam kelangsungan hidup generasi mendatang, dalam konteks ini negara sebagai penjamin dan pengelola Sumber Daya Alam yang terkandung di bumi Indonesia sebagaimana amanat konstitusi, dinilai telah gagal karena lebih mendahulukan kepentingan pemilik modal (capital resources) dan kepentingan perusahaan asing (Foreign Capital), dibandingkan kesejahteraan rakyatnya. Berbagai latar belakang permasalahan inilah yang menjadikan kejahatan Lingkungan sebagai Transnasional Crime atau kejahatan Transnasional, dimana banyak kekayaan alam yang terkandung di bumi Indonesia terkuras habis oleh kepentingan pemilik perusahaan asing, baik secara legal maupun ilegal, mulai dari pertambangan ilegal, hingga pembalakan liar, dan semua berjalan secara sistematis melibatkan unsur-unsur pemangku kebijakan serta aparat penegak hukum.

B.   Rumusan masalah
Melihat latar belakang permasalahan di atas, ada beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pembahasan mengenai aspek Hukum Transnasional dalam hukum lingkungan;
1.    Apakah pengertian dari Hukum transnasional
2.    Bagaimanakah aspek hukum transnasional dari penerapan Pidana Hukum Lingkungan Hidup

C.   Tujuan Penulisan
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan pada latar belakang penulisan ini, maka yang menjadi tujuan penulisan makalah ini adalah;
1. Untuk mengetahui dan menganalisa aspek-aspek Hukum Transnasional dalam Hukum Pidana Lingkungan Hidup.
2. Untuk mengetahui dan menganalisa perumusan penegakan hukum pidana
Terhadap kejahatan Lingkungan Hidup lintas batas yang dilakukan oleh Organizational Crime.

D.   Manfaat Penulisan
Menambah pengetahuan tentang apakah yang dimaksud dengan kejahatan Transnasional, dan apa sajakah aspek-aspek Hukum Transnasional dalam pidana Hukum Lingkungan hidup, serta sebagai sumbang saran bagaimanakah pemidanaan terhadap kejahatan Hukum Lingkungan Hidup yang lintas batas dan dilakukan oleh Organizational Crime.

E.   Kerangka Konseptual
1.    Landasan Pemikiran tentang konsep Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Undang-undang no 32 tahun 2009
Bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga Negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa agar lebih menjamin kepastian hokum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem, perlu dilakukan pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;

2.    Konsep Suissteneable development sebagai Pembangunan yang berkelanjutan dalam Undang-undang no 32 tahun 2009
Bahwa pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan

3.    Konsep Hukum Pidana dalam Penjelasan Undang-undang no 32 tahun 2009
Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang ini memperkenalkan ancaman hukuman minimum di samping maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hokum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hokum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.

4.    Aspek Hukum Transnasional menurut PBB dan hukum Konvensi Internasional
Secara konsep, Transnational crime merupakan tindak pidana atau kejahatan yang melintasi batas negara. Konsep ini diperkenalkan pertama kali secara internasional pada era tahun 1990-an dalam The Eigth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. PBB menambahkan bahwa Transnasional Crime seringkali diartikan sebagai
kegiatan kriminal berskala besar dan kompleks dilakukan oleh asosiasi yang kuat atau longgar terorganisir dan ditujukan pada pasokan, sumber daya dan eksploitasi pasar secara ilegal dengan mengorbankan masyarakat.

II.    PEMBAHASAN
1.    Apakah yang dimaksud Hukum Transnasional
Globalisasi dan interdependensi ekonomi suatu negara dengan Negara lain disamping melahirkan kesejahteraan dan kemajuan peradaban, membawa dampak negatif antara lain telah mendorong lahirnya kejahatan lintas batas di seluruh belahan dunia. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi dan komunikasi, seolah mengaburkan batas-batas negara, mendorong semakin mudahnya perpindahan orang, barang dan jasa dari suatu negara ke negara lain baik secara legal maupun ilegal. Perkembangan global telah mengubah karakteristik kejahatan yang semula dalam lingkup domestik bergeser menjadi lintas batas negara atau Transnasional, Dengan demikian “nature” dari kejahatan transnasional, baik yang organized maupun yang tidak organized, tidak dapat dipisahkan dari fenomena globalisasi. Secara konsep, transnational crime merupakan tindak pidana atau kejahatan yang melintasi batas negara. Konsep ini diperkenalkan pertama kali secara internasional pada era tahun 1990-an dalam pertemuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membahas pencegahan kejahatan. Pada tahun 1995, PBB mengidentifikasi 18 jenis kejahatan Transnasional yaitu Pencucian uang, Terorisme, Pencurian benda seni dan budaya, Pencurian Hak Intelektual, Kejahatan Lingkungan, Penyelundupan senjata api, Pembajakan pesawat terbang, bajak laut, Perdagangan orang, Perdagangan tubuh manusia, Kejahatan Perbankan, Korupsi dan Penggelapan uang negara. PBB telah mensahkan UN Convention Against Transnational Organized Crime (UNCATOC) atau yang dikenal dengan sebutan Palermo Convention pada plenary meeting ke-62 tanggal 15 November 2000
Karakteristik Transnasional Crime meliputi; 1) Kejahatan tersebut dilakukan di lebih dari satu negara, 2) Persiapan, perencanaan, pengarahan dan pengawasan dilakukan di negara lain,  3) Melibatkan organized criminal group dimana kejahatan dilakukan di lebih satu Negara, 4) Berdampak serius pada negara lain. Bila dilihat dari karakteristik tersebut, Indonesia adalah termasuk salah satu negara di dunia yang seringkali menjadi sasaran, objek maupun subjek dari Transnasional crime atau kejahatan lintas batas. Berdasarkan data dan informasi di Kementerian Kehutanan, pernah mengungkapkan bahwa Singapura dan Malaysia adalah negara tempat pencucian kayu ilegal (logging laundry). Singapura banyak menerima kiriman kayu ilegal dari Indonesia. Selanjutnya, kayu ilegal itu “dicuci” menjadi kayu legal. Baru kemudian kayu-kayu “legal” aspal (asli tapi palsu) itu diperdagangkan. Pembeli kayu tropis dari Jepang, Eropa, dan Amerika Serikat pun “tidak merasakan apa pun” ketika membeli kayu dari Singapura tersebut (Alikodra dan Syaukani, 2004: 106). Berbagai laporan hasil investigasi yang dilakukan oleh berbagai LSM  juga menunjukkan bahwa ada keterlibatan pihak asing di dalam illegal logging yang terjadi di Indonesia. Penyelidikan yang dilakukan oleh Environmental Investigation Agency (EIA) dan Telapak yang dipublikasikan dalam laporan yang berjudul “The Last Frontier: Illegal Logging in Papua and China’s Massive Timber Theft” berhasil mengungkapkan jaringan internasional yang berhubungan dengan illegal logging kayu merbau di Papua lengkap dengan metode penyelundupan dan para aktor yang terkait. Laporan penyelidikan ini juga dilengkapi dengan gambaran singkat mengenai krisis illegal logging dan berbagai perjanjian di tingkat internasional yang berhasil dicapai sejak tahun 2001-2003, demikian halnya Penyelidikan yang dilakukan oleh Lembaga Pemerhati lingkungan dan hasil Investigasi dari media dan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bintan, pernah mengungkapkan sejak puluhan tahun yang lalu hingga saat ini masih terjadi penambangan pasir ilegal di daerah Kabupaten Bintan Kepulauan Riau, pasir tersebut dikirimkan ke Singapura yang digunakan untuk memperluas daratan maupun garis pantai yang ada di Singapura, penambangan pasir ilegal ini mengakibatkan banyak pulau-pulau  yang ada di daerah kepulauan Riau menjadi rusak ekosistemnya, menimbulkan erosi dan pencemaran, bahkan meninggalkan lubang-lubang galian yang sangat besar  berdiameter 50 meter sampai 500 meter, yang tentunya hal ini sangat membahayakan.
Dilihat dari pelakunya selain melibatkan korporasi atau perusahaan lokal, apabila ditelusuri sumber permodalan yang digunakan ternyata berasal dari institusi finansial asing, sehingga  diduga lembaga finansial asing tersebut ikut terlibat dalam transnational crime di Indonesia karena modal yang mereka tanamkan di berbagai perusahaan di Indonesia ternyata digunakan untuk melakukan Ilegal logging, Ilegal maining, Ilegal Fishing dsb, bahkan mengakibatkan pencemaran maupun kerusakan lingkungan, seperti yang terjadi di teluk Buyat oleh PT. Newmont Minahasa, PT Exxon Mobile Oil di Aceh, maupun PT Freeport di Papua. Mereka sebenarnya dapat mengecek bagaimana modal mereka digunakan. Mereka memiliki tanggung jawab untuk itu, sesuai dengan norma corporate social responsibility dan eco-label. Institusi finansial internasional sebagai bagian dari masyarakat internasional tentu saja sebenarnya tidak dapat terlepas dari berbagai norma ini. Dalam hal pidana lingkungan hidup tersebut dilakukan oleh perusahaan asing atau pemangku kepentingan negara asing, maka secara de Jure maupun de facto dapat dikatakan telah melakukan kejahatan Transnasional.

2.    Bagaimanakah aspek hukum transnasional dari penerapan Pidana Hukum Lingkungan Hidup
Berbicara tentang hukum lingkungan dan penerapan hukumnya, tdak dapat dilepaskan dari konstruksi  yang membangun kejahatan terhadap lingkungan itu sendiri, sebagaimana Teori Kekuatan kejahatan menurut Ronet Bachman dan Russel K. Schutt;
In Criminology, these theoretical constructs describe what is important to look at to understand, explain, predict, and ‘ do something about’ crime.
Kejahatan merupakan perbuatan manusia, karena itu kejahatan tidak terpisah dari pembuatnya, meskipun demikian, kejahatan ketika sudah dilakukan tidak dapat lagi di kontrol oleh manusia pembuatnya. Sebaliknya kejahatan mengakibatkan pembuatnya dituntut pertanggung jawaban meskipun kejahatan itu tidak lagi dilakukan, namun kejahatan tersebut telah menimbulkan korban yang dampaknya masih terus terjadi, bahkan akhirnya budaya menjadi korban (Culture as victim). Ketika suatu jenis kejahatan telah memasuki taraf berdaulat (sovereign crime) dengan ciri-ciri antara lain relatif kebal terhadap upaya-upaya penindakan, maka kejahatan itu mulai mempunyai kekuatan untuk menekan masyarakat (crime against society), sehingga budaya masyarakat dalam beberapa segi berubah, akibatnya menciptakan suasana yang kondusif bagi lahirnya kejahatan yang berdaulat.
Karakteristik konstruktif kejahatan ini sangat relevan dengan terjadinya kejahatan Lingkungan, dimana para pelaku kejahatan menjadi cenderung tidak tersentuh hukum bahkan bisa dikatakan kebal hukum. Hal tersebut terjadi karena pemerintah sebagai pembuat kebijakan seolah-olah cenderung memberikan perlindungan, dengan dalih Investasi modal asing dan dalam negeri bagi kemajuan wilayahnya namun mengabaikan potensi lingkungan hidup yang melimpah dan budaya maupun ekologi lingkungan disekitarnya, terlebih lagi aturan yang dibuat cenderung lebih memberikan peluang bagi para pelaku kejahatan lingkungan untuk melakukan kejahatannya, dengan selalu menitik beratkan pada asas Sarana terakhir (Ultimum Remedium), meskipun hukum lingkungan yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia pada prinsipnya telah mengacu pada konsep hukum modern dan konsep pembangunan berkelanjutan (Suisstenable Development) . Dalam hukum lingkungan modern, ditetapkan ketentuan dan norma-norma guna mengatur tindak perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutunya demi untuk menjamin kelestariannya agar dapat secara langsung terus-menerus digunakan oleh generasi sekarang maupun generasi-generasi mendatang. Hukum Lingkungan modern berorientasi pada lingkungan, sehingga sifat dan waktunya juga mengikuti sifat dan watak dari lingkungan itu sendiri dan dengan demikian lebih banyak berguru kepada ekologi. Dengan orientasi kepada lingkungan ini, maka Hukum Lingkungan Modern memiliki sifat utuh menyeluruh atau komprehensif integral, selalu berada dalam dinamika dengan sifat dan wataknya yang luwes. Sedangkan konsep pembangunan berkelanjutan menekankan pada aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Konsep pemidanaan sebagai alternatif atau sarana terakhir dalam penjelasan Undang-undang no 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, tidak dapat dipisahkan secara parsial, atau setengah-setengah, bahwa secara formal konsep Ultimum Remedium tersebut hanya berlaku pada pelanggaran baku mutu air limbah, emisi dan gangguan. Sehingga bila pemerintah tetap berpegang pada prinsip pemidanaan sebagai sarana terakhir untuk semua jenis kejahatan terhadap lingkungan adalah merupakan kesalahan terbesar, dan apabila hal tersebut mengakibatkan dampak yang semakin luas dan merugikan masyarakat, berarti negara telah mengkhianati konstitusi yang termaktub pada UUD 1945, Dimana bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan demi keuntungan pihak-pihak tertentu, apalagi pihak asing dengan alasan apapun. Tujuan Pemidanaan menurut Cesare Beccaria Bonesana (1764) dikatakan ada dua hal yaitu untuk tujuan prevensi khusus dan prevensi umum. Tujuan pemidanaan hanyalah supaya si pelanggar tidak merugikan sekali lagi kepada masyarakat dan untuk menakuti-nakuti orang lain agar jangan melakukan hal itu. Menurut Beccaria yang paling penting adalah akibat yang menimpa masyarakat. Keyakinan bahwa tidak mungkin meloloskan diri dari pidana yang seharusnya diterima, begitu pula dengan hilangnya keuntungan yang dihasilkan oleh kejahatan itu adalah untuk menimbulkan efek jera (deterence effect) dan memastikan bahwa pelaku tidak mengulangi lagi kejahatannya,
            Alasan mengapa Kejahatan Lingkungan dalam konteks kejahatan transnational harus dilakukan tindakan tegas, karena transnasional crime dapat menyebabkan; 1) Melemahkan sistem hukum karena apabila dilakukan oleh organized criminal group dapat mengancam integritas dan independensi penegak hukum dengan mempengaruhi proses penegakan hukum termasuk putusan hakim yang objektif dan berkeadilan, 2) Merusak sistem perekonomian karena pada umumnya kejahatan transnasional bertujuan mendapatkan uang dan keuntungan materil lainnya dalam jumlah signifikan yang berpotensi mengganggu pengendalian moneter (inflasi, jumlah uang beredar) dan kebijakan fiskal, penerimaan pajak, integritas lembaga keuangan, dan persaingan usaha yang sehat, 3) Mengganggu sistem sosial dan sistem budaya apabila kejahatan transnatsional tumbuh marak di tengah masyarakat dan merajalela tidak terkendali sehingga masyarakat menjadi permisif terhadap pelanggaran hukum dan yang paling parah tidak berani membela kebenaran dan keadilan, 4) Merusak tatanan pemerintah, kehidupan politik dan penyelenggaraan negara karena organized criminal group akan berusaha mempengaruhi keputusan lembaga eksekutif dan legislatif untuk mengamankan eksistensinya, 5) mengancam souvereignity (kedaulatan negara) karena organized criminal group dapat mengendalikan aktivitasnya dari luar jurisdiksi negara tanpa perlu eksis di negara yang bersangkutan. Aktivitas cross border ini kecil kemungkinan lolos dari jangkauan aparat negara, dan mengingat kejahatan yang dilakukan massive akan berdampak pada terancamnya kedaulatan negara.
            Dalam konsep Transnasional Crime dari Hukum Lingkungan Hidup, penegakan hukum pidana harus dilakukan seefektif mungkin, artinya dengan melakukan investigasi secara menyeluruh sejak dari hulu ke hilir, mulai dari pengurusan ijin perusahaan, penelitian AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan), ijin gangguan, kesepakatan bersama dengan lingkungan masyarakat sekitar, pemanfaatan terhadap sumber daya alam maupun sumber daya manusia dengan tetap memperhatikan batas-batas toleransi mempertimbangkan ketersediaan sumber daya alam bagi generasi mendatang, proses pembuangan, penyimpanan dan pengolahan limbah, hingga sumber modal yang digunakan, dan apakah sudah melibatkan ahli-ahli lingkungan yang independen dan kredibel, serta bagaimana pengembangannya bagi lingkungan sekitar. Namun hal tersebut belum cukup tanpa adanya pengawasan yang ketat dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran regulasi maupun kejahatan terhadap lingkungan hidup, selain itu perlunya kesepakatan yang mengikat dengan negara-negara tetangga maupun negara asing pemilik modal baik melalui MOU maupun perjanjian bilateral dan regional, untuk melakukan komitmen bersama melakukan penindakan dan tidak memberikan perlindungan terhadap kejahatan hukum lingkungan sebagai Transnational crime dan organizational crime, sesuai konvensi PBB dan peraturan hukum Internasional.

III.   PENUTUP
1.    Kesimpulan
Kejahatan terhadap lingkungan yang terjadi di Indonesia sudah sangat memprihatinkan, dan memberi dampak baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap sosial budaya masyarakat, seperti kemiskinan, korban bencana alam, pengungsian dsb, hal tersebut tidak terlepas dari akibat lemahnya sistem penegakan hukum lingkungan di Indonesia, sehingga Indonesia seringkali disebut sebagai surganya para pelaku kejahatan lingkungan hidup, hal tersebut menjadi dilematis karena banyaknya kepentingan yang terdapat didalamnya, sebagai negara berkembang Indonesia membutuhkan investasi dan modal dari luar negeri, selain itu meningkatnya angka pengangguran dan migrasi besar-besaran masyarakat desa menuju ke kota merupakan faktor-faktor yang perlu mendapat perhatian pemerintah, sehingga efek ekologi maupun kerusakan dan pencemaran lingkungan menjadi terabaikan dan tidak sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan (suisstenable development).
Perusahaan asing maupun pemberi modal asing dapat dimasukkan sebagai transnational crime adalah jika melihat berbagai kasus yang pernah terjadi dengan berbagai modus operandinya; antara lain dengan memanfaatkan regulasi yang ada sehingga seolah-olah sumber daya yang ilegal menjadi tampak legal, berkelit bahwa pihaknya sebagai pihak ketiga yang tidak mengetahui dari mana sumber tersebut berasal, mencari keuntungan semata tanpa memperhatikan aspek lingkungan sekitar. Selain itu dari sudut pelaku, keterlibatan pelaku lokal (Warga Negara Indonesia) dalam kejahatan lingkungan di Indonesia justru menunjukkan karakteristik transnational crime sebagai salah satu bagian dari hubungan transnasional. Bila melihat dari alur illegal logging, illegal maining maupun illegal fishing di Indonesia, meskipun dilakukan oleh masyarakat biasa, namun hasil Ilegal tersebut mengalir ke berbagai perusahaan yang kemudian dijual untuk tujuan ekspor. Demikian halnya eksploitasi terhadap sumber daya alam negara lain tanpa memperhatikan aspek lingkungan dan ketersediaan sumber daya bagi generasi mendatang, adalah dimensi lain dari kejahatan Transnasional.


2.    Saran
Untuk mengatasi aspek Kejahatan transnasional dari kejahatan terhadap lingkungan hidup maka diperlukan perubahan-perubahan pada rules dan praktek yang menyusunnya. Dimana hal ini tidak hanya harus terjadi pada tingkat domestik saja namun juga harus terjadi pada tingkat internasional. Permasalahan tidak akan selesai dengan hanya memperbaiki aturan perniagaan saja namun juga harus mencakup rule di bidang politik, ekonomi, hukum, dan sosial-budaya. Selain itu diperlukan pula komunitas epistemik yang berfungsi untuk mengkaji dan mengawasi terjadinya kejahatan terhadap lingkungan hidup yang dapat menyebarluaskan informasi dan membentuk jaringan interaksi dengan lembaga lain sejenis di daerah dan di negara lain. 
Penegakan hukum lingkungan hidup melalui Sanksi pidana sesuai asas Subsidiaritas hendaknya dipahami sebagai sanksi alternatif yang berdiri sendiri. Artinya, tata cara dan sanksi pidana sebagai sanksi pengganti yang berdiri sendiri, tidak dihubungkan dengan tata cara dan sanksi yang lain. Tata cara ini ditempuh, apabila (alternatif atau kumulatif) tingkat kesalahan pelaku tergolong berat, dan atau akibat perbuatan pelaku relatif besar, dan atau perbuatan pelaku meresahkan masyarakat. Jadi tata cara ini tidak dikaitkan dengan efektif atau tidaknya sanksi-sanksi yang lain, sehingga dengan demikian dapat memberikan rasa keadilan bagi para korban kejahatan lingkungan hidup pada khususnya dan kedaulatan negara (Souveregenity) pada konteks yang lebih global.